TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengusaha tekstil menyatakan keberatan terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Adapun perubahan terhadap iuran Peserta Penerima Upah (PPU) Badan Usaha diusulkan oleh Kementerian Keuangan menjadi 5 persen terhadap upah bulanan dengan nilai maksimum upah Rp 12 juta, dari yang sebelumnya Rp 8 juta.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat Usman mengatakan, besaran persentase tersebut tidak bisa menjadi tolak ukur keadilan pungutan iuran BPJS Kesehatan.
Sebab, setiap daerah memiliki tingkat upah minimum yang beragam.
"BPJS Kesehatan seharusnya bukan hanya main pungut dengan persentase tertentu, tapi juga harus berasaskan keadilan, karena kalau berdasarkan persentase, dasarnya UMKM ( Upah Minimum Kota/Kabupaten) di Jawa Tengah akan lebih kecil iurannya jika dibandingkan dengan kawasan Karawang, Garut dan lainnya," ujar dia ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (3/9/2019).
Kenaikan iuran bagi peserta penerima upah - badan usaha, jika usulan ini disetujui bakal mulai berlaku pada 1 Januari 2020 mendatang.
Hal tersebut bersamaan dengan peserta bukan penerima upah, atau peserta mandiri yang juga mengalami kenaikan besaran iuran di setiap kelasnya.
Adapun seperti diketahui, untuk besaran iuran bagi peserta pekerja penerima upah, baik di BUMN, BUMD atau pun swasta sebesar 5 persen dari upah per bulan, dengan ketentuan 4 persen di bayar pemberi kerja, dan 1 persen oleh peserta.
Artinya, jika sebelumnya peserta dengan gaji Rp 10 juta iuran BPJS-nya hanya sebesar Rp 400.000 sebulan, dengan perhitungan 5 persen dari gaji dengan batas atas upah Rp 8 juta, maka pembagiannya adalah pemberi kerja harus membayar Rp 320.000 sementara peserta yang bersangkutan Rp 80.000.
Sementara, dengan skema baru, karena batas atas dinaikkan, maka dia harus merogoh kocek lebih dalam dengan membayar Rp 500.000 setiap bulannya.
Pemberi kerja harus menyetor Rp 400.000 setiap bulan, dan iuran yang dibebankan ke pekerja Rp 100.000.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai kenaikan batas maksimum pendapatan tersebut tidak efektif dalam menekan defisit BPJS Kesehatan.
Sebab, industri tekstil, meski data-data perindustrian menunjukkan pertumbuhan, pada praktiknya banyak juga perusahaan-perusahaan yang gulung tikar di lapangan.
"Karena ekspor naik, nilai ekspor garmennya naik. Ada investasi, salah satunya Asia Pacific Rayon, tapi itu juga investasi dari 3 tahun yang lalu. Sementara di sektor tenun, rajut, dan garmen juga banyak yang stop, kemarin di Sukabumi ada laporan di stop, 40.000 peerja, kemudian di Bogor ada lagi, Subang ada lagi. Kalau (batas atas) dinaikin siapa yang mau bayar?" ujar dia.
Berlaku 2020
Pemerintah sudah bulat menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan sebesar 100 persen untuk menutup defisit JKN.
Menurut Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, kenaikan iuran itu akan dilakukan mulai 1 Januari 2020.
Namun, ini berlaku hanya untuk kelas I dan kelas II.
"Yang kelas I kelas II mulai 1 Januari 2020 jadi Rp 160.000 dan Rp 110.000 sehingga kami bisa sosialisasi untuk masyarakat," ujarnya seusai rapat kerja dengan DPR, Jakarta, Senin (3/9/2019).
Sementara itu, kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III masih ditunda setelah Komisi IX dan XI DPR menolak usulan itu.
DPR meminta pemerintah melakukan pembersihan data sebab terjadi karut-marut data.
Selain itu kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas III juga dinilai akan membebani masyarakat bawah.
Meski begitu, ucapnya, keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan masih haru menunggu restu presiden melalui peraturan presiden.
Tahun ini, defisit BPJS Kesehatan diproyeksikan sudah mencapai Rp 32,8 triliun.
Angka ini akan terus membengkak bila tidak ada kebijakan pembenahan salah satunya kenaikan iuran.
Menurut Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris, proyeksi defisit BPJS Kesehatan akan mencapai Rp 77,8 triliun pada 2024.
"Kalau kita tidak melakukan upaya-upaya policy mix, artinya meningkatkan iuran kemudian kaitannya dengan bauran kebijakan, akan terjadi defisit ini semakin lebar," kata dia.
Dalam rapat sebelumnya sepekan yang lalu, Sri Mulyani telah mengusulkan kenaikan iuran sebesar dua kali lipat.
Artinya, peserta JKN kelas I yang tadinya hanya membayar Rp 80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 160.000.
Kemudian peserta JKN kelas II membayar Rp 110.000 dari yang sebelumnya Rp 51.000.
Sementara peserta JKN mandiri kelas III yang tadinya hanya membayar iuran sebesar Rp 25.500 harus menaikkan iuran bulanan menjadi Rp 42.000 per bulan.
Ancam Demo
Rencana pemerintah menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan direspon negatif para buruh.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, para buruh akan menggelar aksi demo besar-besaran untuk menentang rencana pemerintah tersebut.
"Pasti ada aksi, kalau pemerintah bersikeras menaikan iuran pasti akan ada perlawanan, pertama melalui gerakan, hukum dan politik," ujarnya kepada Kompas.com, Jakarta, Selasa (3/9/2019).
"Dalam bentuk gerakan KSPI sedang mengajak serikat buruh tanggal 2 Oktober, satu hari setelah pelantikan DPR kami akan aksi besar besaran 150.000 orang di 10 kota industri di 10 provinsi," sambung dia.
Said memastikan protes buruh tidak hanya akan berhenti hanya dengan demonstrasi. Sebab kenaikan iuran BPJS Kesehatan jelas akan memberatkan masyarakat, tidak hanya buruh.
KSPI meminta pemerintah memikirkan daya beli dan pendapatan masyarakat. Sebab dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, maka uang masyarakat akan dipotong lebih banyak.
"Misal untuk kelas III naiknya jadi Rp 42.000 kan. Kalau peserta mandiri satu istri, satu suami dan 3 anak, berarti Rp 42.000 kali 5 orang sudah Rp 210.000," kata dia.
"Bagi orang Jakarta yang upah minimum non buruh Rp 3,9 juta mungkin enggak terasa naik jadi Rp 210.000 keluar. Tapi gimana pekerja di daerah lain dengan UMP yang lebih kecil?" sambungnya.
Said yakin aksi buruh akan mendapatkan dukungan dari kelompak masyarakat lainnya sebab dampak iuran BPJS Kesehatan akan dirasakan oleh pekerja lainnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, kenaikan iuran itu akan dilakukan mulai 1 Januari 2020. Namun, ini berlaku hanya untuk kelas I dan kelas II.
"Yang kelas I kelas II mulai 1 Januari 2020 jadi Rp 160.000 dan Rp 110.000 sehingga kami bisa sosialisasi untuk masyarakat," ujarnya seusai rapat kerja dengan DPR, Jakarta, Senin (3/9/2019).
Baca: Ada Dugaan Perusahaan Manipulasi Data Gaji Peserta BPJS, DPR Akan Bentuk Pansus
Baca: BPJS Kesehatan Bakal Tagih Secara Door to Door untuk Peserta yang Menunggak Bayar Iuran
Baca: Audit BPKP: Ada 2.348 Perusahaan Diduga Manipulasi Data Gaji Peserta BPJS Kesehatan
Baca: DPR Minta Pemerintah Pertimbangkan Peserta BPJS Kesehatan Kelas 3 Masuk PBI
Sementara itu, kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III masih ditunda setelah Komisi IX dan XI DPR menolak usulan itu.
Dalam rapat sebelumnya sepekan yang lalu, Sri Mulyani telah mengusulkan kenaikan iuran sebesar dua kali lipat. Artinya, peserta JKN kelas I yang tadinya hanya membayar Rp 80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp 160.000.
Kemudian peserta JKN kelas II membayar Rp 110.000 dari yang sebelumnya Rp 51.000.
Sementara peserta JKN mandiri kelas III yang tadinya hanya membayar iuran sebesar Rp 25.500 harus menaikkan iuran bulanan menjadi Rp 42.000 per bulan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Iuran BPJS Kesehatan Naik, Buruh Ancam Demo Besar-besaran", "Kemenkeu: 1 Januari 2020, Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen" dan "Pengusaha Tekstil Keberatan dengan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan "