TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penggunaan robot dan teknologi otomatisasi di bidang manufaktur telah mendorong terjadinya tren reshoring pada perusahaan multinasional.
Akibatnya, investasi yang mengandalkan upah yang relatif lebih murah, kian mengecil.
Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategics International Studies (CSIS) Yose Rizal mengungkapkan, perkembangan teknologi juga mendorong bertumbuhnya servisifikasi di industri manufaktur.
Industri jasa seperti logistik, jasa informasi dan telekomunikasi telah menjadi penopang bagi industri manufaktur.
Baca: Kabar Terbaru soal Bencana Kabut Asap, 6.025 Warga Terserang ISPA hingga Balita Diungsikan
"Contohnya, biaya produksi satu buah telepon genggam hanya sepertiga dari nila jualnya, sementara itu nilai jasa dalam produk tersebut dapat mencapai lebih dari 60 persen," kata Yose dalam keterangannya pada seminar Global Dialogue 2019 Harnessing Frontier Technologies: Redesigning National, Regional and Global Architecture, Selasa (17/9/2019).
Untuk mengakomodasi meningkatnya peran industri jasa dalam industri manufaktur, imbuhnya, diperlukan perubahan mendasar dalam strategi industrialisasi di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Teknologi digital dan otomatisasi diprediksi tidak hanya akan mengubah karakter, jenis dan jumlah pekerjaan, tapi juga membuat hubungan hubungan industrial semakin kompleks.
Hal ini sejalan dengan semakin berkembangnya perusahaan yang berinovasi pada teknologi yang bersifat disruptif..
Dalam kasus Indonesia, hal ini terasa pada meningkatnya persaingan antara perusahaan yang mengandalkan hubungan kerja tradisional, seperti perusahaan taksi, dengan perusahaan yang mengandalkan hubungan kerja virtual freelance, misalnya ride-hailing.
Persaingan juga terjadi di bidang yang pekerjanya memiliki keahlian khusus dan tinggi seperti kedokteran, contohnya antara dokter yang dipekerjakan oleh pihak rumah sakit dan dokter yang bekerja melalui layanan telemedicine.
Untuk mengakomodasi perkembangan ini, regulasi ketenagakerjaan khususnya yang terkait dengan hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja perlu diubah.
Pun dengan pertumbuhan ekonomi digital yang semakin cepat, pemerintah perlu mereformasi sistem perpajakan yang ada.
Namun hal ini bukanlah hal yang mudah karena rezim perpajakan yang rumit dan berbeda-beda antar negara menjadi penghambat.
"Diperlukan sistem perpajakan yang berlaku secara universal dan dapat diterima di semua negara," terang Yose.
Selain itu, meningkatnya penggunaan robot memunculkan inisiatif baru untuk mengenakan robot tax selayaknya pekerja manusia. Inovasi-inovasi perpajakan ini perlu didiskusikan lebih lanjut pada forum antar negara.
“Teknologi digital Indonesia mempunyai potensi besar untuk menjadi landasan pembangunan ekonomi inklusif di Indonesia. Dengan pertumbuhan yang semakin cepat, ekonomi digital atau intelligent economy mengubah model bisnis tradisional," ujar Yose.
Pemerintah juga perlu melakukan transformasi terkait dengan perpajakan. Formulasi kebijakan terkait ekonomi digital seharusnya mempertimbangkan kesejahteraan seluruh pihak terkait agar manfaatnya bisa dirasakan secara optimal.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Penggunaan Robot Pengaruhi Arus Perdagangan dan Investasi"