TRIBUNNEWS.COM - Kejaksaan Agung mengungkap negara berpotensi mengalami kerugian Rp 13,7 triliun akibat PT Asuransi Jiwasraya (Persero) berinvestasi pada 13 perusahaan bermasalah.
Perusahaan asuransi pelat merah ini diduga mengabaikan prinsip kehati-hatian dengan menginvestasikan dana nasabahnya pada portofolio yang berisiko tinggi demi mengejar imbal tinggi (high return).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance ( Indef), Enny Sri Hartati, mengungkapkan kasus perusahaan asuransi sampai tekor triliunan rupiah dinilainya tidak lazim.
Pengelolaan dana di industri asuransi, berbeda dengan perusahaan investasi lainnya.
"Tidak lazim, nggak lazim sekali kalau sampai asuransi bisa rugi sebesar itu. Kalau sampai rugi triliunan di industri ini, berarti ada salah kelola atau moral hazard," jelas Enny, Rabu (25/12/2019).
Menurutnya, di industri asuransi menerapkan prinsip kehati-hatian yang lebih ketat dibanding industri keuangan lainnya.
Kemudian, umumnya perusahaan asuransi juga menggunakan reasuransi. Dimana risiko bisa dibagi dengan perusahaan asuransi lain.
"Di sistem asuransi itu yang namanya pertanggungan diberikan sesuai dengan polisnya. Nggak ada rugi semacam BPJS (Kesehatan)," kata Enny.
"Kemudian karena dia produknya asuransi, kan ada reasuransi. Harusnya sudah diperhitungkan, kalau bisa rugi sebesar itu artinya ada moral hazard, ada pelanggaran dalam pengelolaannya," tambahnya.
Baca: Polemik Kasus Jiwasraya, Pengamat: Penegakan Hukum Jadi Kunci Penyelesaian
Saham gorengan
Jiwasraya mengalami gagal bayar polis kepada nasabah terkait produk investasi Saving Plan. Produk tersebut adalah asuransi jiwa berbalut investasi hasil kerja sama dengan sejumlah bank sebagai agen penjual.
Perusahaan asuransi pelat merah ini menyerah dan tak sanggup memenuhi kewajiban pembayaran yang mencapai Rp 12,4 triliun.
Menilik ke belakang, limbungnya keuangan Jiwasraya terutama karena kesalahan penempatan investasi yang dilakukan manajemen terdahulu.
Dalam laporan keuangan yang Jiwasraya, aset berupa saham pada Desember 2017 tercatat sebesar Rp 6,63 triliun, menyusut drastis menjadi Rp 2,48 triliun pada September 2019.