TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai BPH Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tidak melaksanakan tugasnya secara maksimal.
Gus Irawan Pasaribu yang memimpin rapat dengan pendapat (RDP) dengan BPH Migas, menyoroti kelebihan realisasi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di atas kuota 2019, yang disebabkan penetapan kuota terlalu rendah.
Baca: PSSI Apresiasi Tawaran Hungaria yang Akan Berikan Kepelatihan Bagi Pemain Muda Indonesia
Baca: Video Siswa SMP Aniaya Temannya Viral di Media Sosial, Pelakunya Sumringah
Penetapan yang rendah tersebut, kata Irawan, bukan karena penyerapan tahun-tahun sebelumnya rendah, tetapi ada penahanan penyaluran premium oleh Pertamina.
"Pada 2017 kuota premium di luar Jawa, Madura, Bali sudah sebanyak 12,5 juta kilo liter Namun, karena ditahan Pertamina, yang kita tahu mengurangi kerugiannya maka angka realisasinya hanya 7,5 juta kilo liter," ujar Irawan di ruang Komisi VII DPR, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
"Angka ini lah seolah-olah dianggap sebagai serapan, sehingga kuota tahun-tahun berikutnya dikurangi. Kita tahu lah ini akah-akalan, masyarakat dipaksa untuk beralih ke pertalite," sambung Irawan yang menjabat Wakil Ketua Komisi VII.
Di tempat yang sama, Anggota Komisi VII Fraksi Gerindra Harry Purnomo menilai pengawasan migas di hilir yang menjadi tanggungjawab BPH Migas tidak efektif, baik premium maupun solar.
"Realisasi solar bersubsidi tahun 2019 yang melampau kuota sebesar 1,7 juta kilo liter karena pengawasan yang lemah," ujar Harry.
Irawan juga menyentil BPH Migas dalam pemungutan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa Arun-Belawan yang sangat tinggi dan tidak masuk akal.