TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) menggelar pelatihan budidaya magot sebagai pakan alternatif.
Larva magot yang hidup di tempat pembuangan sampah memiliki potensi cukup besar untuk mendorong industri pakan.
Kepala BRSDM Sjarief Widjaja menyampaikan pakan komponen penting untuk pertumbuhan ikan, namun tingginya harga pakan menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pengembangan budidaya perikanan.
Baca: Bapennas: Banjir di Penajam Paser Utara Bukan di Lokasi Ibu Kota Baru
Baca: 1 WNI Sembuh di Singapura, Komisi I: Kalau Sudah Sembuh Dipulangkan Saja
Baca: Virus Corona Mengancam, Pemerintah Singapura Larang Warganya Keluar Rumah
“60-70 persen dari komponen biaya produksi diperuntukan untuk pakan. Untuk itu, BRSDM mengembangkan magot untuk menjadi salah satu bahan pakan alternatif yang cukup terjangkau dan dapat dimanfaatkan,” ujar Sjarief dalam keterangan, Rabu (19/2/2020).
Magot merupakan larva berprotein tinggi yang dikembangkan dari serangga black soldier fly (BSF).
Sjarief menjelaskan, magot mengandung hingga 41-42 persen protein kasar, 31-35 persen ekstrak eter, 14-15 abu, 4.18-5.1 persen kalsium, dan 0.60-0.63 fosfor dalam bentuk kering.
“Kandungan protein tinggi yang terkandung dalam magot ini dapat mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan sistem imun ikan,” jelas Sjarief.
Sebanyak 32 peserta mengikuti pelatihan dari 5 balai pelatihan dan penyuluhan yang digelar BRSDM Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dengan berbagai keunggulannya, saat ini produksi magot telah dikembangkan oleh 21 perusahaan di tanah air di antaranya Leles (Garut), Great Giant Pineaple (Lampung), Pt. Maggot Indonesia Lestari (Bogor), ACEL (Tangerang), Morodasdi Farn Srengat (Blitar), dan Kampung Lala (Banyumas).
Meski begitu, usaha budidaya magot masih memiliki potensi yang besar, terutama dengan arah prioritas pemerintah untuk mengembangkan budidaya perikanan ke depan.