TRIBUNNEWS.COM - Juru Bicara Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) Sarinah mengungkapkan terdapat seorang pekerja perempuan di AICE yang kesulitan mendapat izin cuti haid.
Padahal, Sarinah mengatakan, buruh perempuan bernama Ellita itu menderita endometriosis.
"Buruhnya sendiri bilang ini penyakait penebalan dinding rahim.
Gejalanya kalau haid, kita akan sakit perut luar biasa dan darah haid itu banyak banget," ungkap Sarinah pada Tribunnews.com, Jumat (28/2/2020) siang.
Baca: AICE Klaim Beri Tunjangan Rp 700 Ribu pada Karyawan, Juru Bicara Serikat Buruh: Kebohongan Besar
Sarinah juga menyebutkan, dokter perusahaan di PT Alpen Food Industry (AFI), produsen es krim AICE, tidak independen.
Dokter perusahaan pun sulit memberikan Surat Keterangan Dokter (SKD) yang dapat dipergunakan pekerja untuk izin sakit.
Padahal, hanya SKD dari dokter perusahaan saja yang dapat diterima untuk mengambil libur.
"Kalau orang udah bener-bener parah, nggak bisa bangun, baru itu dikasih Surat Keterangan Dokter," tambah Sarinah.
"Cuti haid itu jarang banget dikasih walaupun kondisi Ellita itu udah jelas-jelas kalau haid banyak banget dan sakit," sambungnya,
Sarinah menambahkan, saat itu Ellita hanya diberi obat dan diperintahkan tetap bekerja.
Tak hanya itu, permintaan Ellita agar tidak dipindahkan ke bagian produksi juga tidak dihiraukan perusahaan.
Padahal permintaan itu Ellita ajukan karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan untuk menerima beban kerja yang terlalu berat.
Baca: Peneliti LIPI: Omnibus Law Cipta Kerja Jelas-jelas Rugikan Buruh
Menurut Sarinah, Ellita menyebutkan, dokter di luar perusahaan pun telah menyarankan Ellita untuk tidak bekerja terlalu berat.
"Ellita ini minta agar nggak dipindah tapi dia dipindah ke produksi, perusahaan nggak peduli terhadap penyakit itu," kata Sarinah.
Pada akhirnya, Sarinah menceritakan, Ellita harus menjalani operasi.
Namun, masalah lain pun muncul.
SKD yang didapat Ellita dari dokter lain tidak diakui oleh perusahaan.
Gaji Ellita pun dipotong.
"Nah baru-baru ini kan dioperasi, ketika dioperasi SKD-nya itu nggak diakui, akhirnya gajinya dipotong, hanya dibayar sekitar Rp 2 jutaan (setengah gaji)," tutur Sarinah.
Baca: Jubir Serikat Buruh Sebut 13 Buruh AICE Keguguran, AICE Klaim Telah Perhatikan Kesehatan Buruh Hamil
"Tapi yang jelas kemudian diprotes, ketika diprotes, baru dikasih gajinya.
"Itu juga harus menunggu bulan depan."
"Bayangkan, orang baru dioperasi pasti membutuhkan uang kan, walaupun ada BPJS tapi di rumah sakit kan pasti ada pengeluaran uang sendiri, malah upahnya dipotong," sambungnya.
Tuntutan Komite Solidaritas Perjuangan untuk Buruh AICE
Dikutip dari laman resmi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), 600 buruh es krim AICE, PT Alpen Food Industry (AFI) melakukan pemogokan setelah gagalnya perundingan yang telah berlangsung sejak tahun lalu.
Aksi tersebut berjalan sejak 21 Februari 2020 lalu.
Terdapat sejumlah permasalahan yang membuat buruh resah, yakni mengenai kondisi kerja yang tidak memadai, penggunaan buruh kontrak, buruh hamil dipekerjakan pada malam hari hingga tingginya kasus keguguran dan kematian bayi baru lahir.
Dalam pendataan serikat pekerja, sejak tahun lalu telah terjadi 20 kasus kematian bayi maupun keguguran dari total 359 buruh perempuan yang bekerja di pabrik AICE.
Selain itu, adanya kesulitan buruh untuk mengambil cuti haid maupun mengurus izin sakit juga menjadi alasan aksi ini.
Menurut F-SEDAR, buruh tidak mendapatkan layanan kesehatan secara demokratis karena satu-satunya dokter yang bisa memberikan izin sakit hanya dokter perusahaan saja.
Komite Solidaritas Perjuangan untuk Buruh AICE kemudian memberikan 22 tuntutan pada PT AFI.
Baca: Pemerintah Ungkap 285 Ribu Buruh Terkena PHK dan Ada 11 Juta Orang Menganggur
Terkait aksi tersebut, Legal Corporate PT AFI, Simon Audrey Halomoan Siagian mengatakan perusahaan pada dasarnya sudah memenuhi semua regulasi yang berlaku.
"Semua sudah kami lakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Simon, seperti yang diberitakan Kompas.com, Kamis (27/2/2020).
Menurut Simon, aksi ini sudah mengganggu operasional produksi dan merugikan perusahaan.
Pasalnya, Simon menuturkan, dari 11 line produksi yang dijalankan, hingga Kamis kemarin7 line yang berjalan.
"Jadi produksi tidak maksimal dan sudah mengalami kerugian. Tapi kami belum hitung karena belum selesai," lanjut dia.
(Tribunnews.com/Widyadewi Metta) (Kompas.com/Nabilla Tashandra)