Oleh Nasrullah Larada, S.IP., M.S *)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pandemi covid-19 yang pada awalnya hanya merupakan isu di dunia kesehatan, kini telah menghasilkan dampak ikutan yang sangat akut di bidang ekonomi. Dari mulai PHK massal, penutupan pabrik-pabrik, goncangan terhadap supply and demand hingga terjadinya penurunan daya beli (konsumsi) masyarakat.
Sektor UMKM yang pada waktu krisis ekonomi sebelumnya (misalnya tahun 1998 dan 2008) mampu bertahan dan dapat menjadi sabuk pengaman ekonomi, kini justru yang paling parah terkena dampaknya.
Akibatnya, ekonomi secara keseluruhan colaps dan pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua tahun 2020 diperkirakan anjlok secara dramatis.
Dampak ekonomi ini membawa implikasi pula terhadap kehidupan sosial, yang jika tidak terkendali berpeluang menyebabkan krisis di bidang politik. Situasi tersebut menjadi lebih mengkhawatirkan apabila pandemi ini berlangsung dalam durasi yang lama.
Meskipun demikian, dampak dari pandemi ini rupanya memiliki dua sisi, dimana ada sektor-sektor bisnis yang diuntungkan dan sektor-sektor bisnis yang dirugikan.
Baca: Jawaban Soal SMP TVRI Prosedur Penjernihan Air Menggunakan Biji Kelor, Senin, 11 Mei 2020
Baca: LIVE STREAMING TVRI Belajar dari Rumah Senin, 11 Mei 2020, Materi Karung Terdampar untuk 1-3 SD
Baca: Bamsoet: Almarhum Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso Loyal Jaga Keutuhan NKRI
Beberapa sektor yang dirugikan antara lain dunia pariwisata, transportasi, konstruksi dan perhotelan, sementara sektor yang diuntungkan antara lain bisnis retail dan makanan, farmasi dan kesehatan, serta teknologi informasi dan komunikasi.
Situasi ini membawa kehidupan manusia menuju normalitas baru (the new normal) yang meliputi cara bekerja, cara belajar hingga cara bersosialisasi. Untuk itu, meskipun hal ini menjadi tantangan besar bagi masyarakat Indonesia, namun kondisi ini harus dijadikan sebagai peluang untuk menciptakan kemandirian ekonomi secara berkelanjutan (sustainable).
Dalam hal ini Indonesia diuntungkan secara geografis yang dapat dimanfaatkan untuk membangun ketahanan pangan dalam negeri serta memiliki modal sosial yang cukup besar untuk membangun ketahanan sosial.
Demikianlah beberapa poin penting dari diskusi Webinar Ekonomi yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia /PP-KBPII (9/5/2020). Diskusi ini diselenggarakan dalam rangka memberikan kontribusi pemikiran dan gagasan di bidang ekonomi untuk mengatasi dampak dari pandemi covid-19.
Acara ini diikuti oleh seratus pesarta baik dari KBPII dan aktivis PII di seluruh tanah air maupun dari kalangan eksternal (umum), serta disiarkan secara langsung (live streaming) melalui Facebook.
Dalam webinar ini, Dahlan Iskan sebagai pembicara kunci mengatakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia sejatinya sudah sangat jelek sebelum terjadinya pandemi covid-19. Namun, menurutnya memang pandemi tersebut berkontribusi memperparah krisis ekonomi yang terjadi, ibarat orang yang sudah jalan sempoyongan kemudian ditinju. Pukulan berat ini membuat bangsa ini menjadi semakin sulit untuk menuju kemandirian ekonomi.
Padahal, dulu di akhir-akhir Orde Baru Indonesia sudah hampir menjadi negara industrialis yang mandiri dalam melakukan aktivitas produksi dalam negeri. Namun, setelah orde Reformasi kondisinya berubah sehingga membuat kebanyakan pengusaha lebih suka hanya menjadi distributor produk-produk luar negeri terutama dari Tiongkok.
Padahal, menurutnya, kemandirian ekonomi hanya dapat diperoleh jika kegiatan produksi dilakukan sendiri di dalam negeri dan tidak terlalu mengandalkan bahan baku dari luar negeri.
Dahlan juga menambahkan bahwa sebetulnya tidak menjadi masalah jika Indonesia menjadi market produk-produk luar negeri, selama Indonesia juga memiliki produk-produk unggulan yang kompetitif untuk dipasarkan ke luar negeri.
Ia mencontohkan dalam hal perdagangan dengan Tiongkok, Indonesia sebaiknya lebih fokus bermain di produk-produk perkebunan terutama buah-buahan tropis seperti durian, manggis, rambutan, pisang dan alpukat.
Indonesia boleh saja dibanjiri oleh barang-barang Tiongkok namun Indonesia juga harus membanjiri Tiongkok dengan produk-produk perkebunan tersebut. Lebih jauh lagi, ia menyarankan agar selama dan pasca pandemi covid-19, Indonesia lebih memfokuskan diri membangun kemandirian ekonomi di sektor pertanian dan perkebunan.
Sementara itu, melalui webinar ini Prof. Didik Rachbini memberikan kritik yang cukup keras terhadap gaya penanganan dan penanggulangan pandemi covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan, menurutnya pemerintah menjadi masalah kedua setelah covid-19.
Dalam hal ini, ia menilai kebijakan pemerintah dalam menghadapi covid-19 sangat membingungkan. Menurutnya, dalam situasi kritis seperti ini kepemimpinan (leadership) menjadi kunci untuk menyelesaikan masalah ekonomi dan dampak-dampak ikutannya. Sayangnya, menurutnya kepercayaan (trust) kepada pemerintah sudah tidak ada.
Ia menambahkan, bahwa krisis akibat pandemi ini berbeda dibandingkan krisis-krisis sebelumnya. Menurutnya, krisis ekonomi tahun 1998 hanya menyelesaikan dampaknya, karena masalahnya sudah selesai. Namun, saat ini antara masalah dan dampaknya terjadi secara bersamaan.
Hal ini membuat bangsa ini diliputi dengan ketidakpastian. Untuk itu, ia menyarankan lebih baik bangsa Indonesia untuk sementara ini lebih memfokuskan diri terlebih dahulu pada masalah ketahanan hidup (survival).
Lebih jauh lagi, Didik menyarankan untuk memperhatikan tiga hal, yakni pasar (market), negara dan sifat altruisme warga. Menurutnya, ketiga hal tersebut memiliki peran yang paling utama bagi kehidupan masyarakat selama masa pandemi.
Dalam hal ini, aktivitas pasar harus tetap dijalankan, namun dengan menggeser medianya dari infrastruktur fisik menjadi infrastruktur digital. Normalitas baru (the normal) akan berkonsekuensi pada efisiensi dalam kegiatan ekonomi.
Selain itu, menurutnya negara harus memanfaatkan APBN secara efektif dan efisien. Anggaran 400 Trilyun yang sudah digulirkan oleh pemerintah untuk penanggulangan dampak covid-19 harus dipergunaakan secara efisien. Ia sendiri tidak sepakat dengan anjuran pencetakan uang (quantitative easing) oleh Bank Indonesia, mengingat dampaknya akan semakin kompleks terutama akibat inflasi.
Selain menghadirkan para ekonom dan praktisi ekonomi, webinar ini juga menghadirkan Najib Azca untuk memberikan perspektif sosiologis dalam menganalisis dampak dari pandemi covid-19. Menurut Najib, masalah di bidang kesehatan ini telah berdampak terhadap krisis ekonomi, kemudian krisis ekonomi tersebut mengakibatkan keresahan sosial dan potensi kerawanan sosial.
Bahkan, masalah sosial ini bisa berujung pada kemungkinan terjadi krisis di bidang politik. Melalui webinar ini ia mengingatkan akan potensi-potensi dampak ikutan lain yang harus diantisipasi dan dipersiapkan jika pandemi ini berlangsung dalam durasi yang panjang.
Meskipun demikian, Najib mengatakan bahwa Indonesia diuntungkan dengan adanya kekuatan modal sosial dan solidaritas sosial yang kuat. Dalam hal ini, Indonesia menduduki peringkat kelima dunia dari sisi kekuatan modal sosialnya, dan rangking paling atas dalam hal indeks memberi (world giving index).
Secara tidak langsung, modal sosial ini sangat membantu kerja pemerintah dalam menanggulangi pandemi. Namun, ia juga memprediksi apabila pandemi ini berlarut-larut hingga berganti tahun, kekuatan modal sosial Indonesia dalam menopang bantuan sosial terhadap masyarakat miskin dimungkinkan hanya dapat bertahan maksimal hingga akhir tahun 2020.
Sebagai alternatif solusi untuk menghadapi normalitas baru (the new normal), ia menyarankan untuk mengembangkan socioprenreur di kalangan masyarakat, yakni program-program sosial yang dikerangkai dengan jiwa entrepreneurship agar program sosial tersebut dapat sustainable.
Sementara itu, Muhammad Misbakun (anggota DPR RI Komisi XI) mengatakan bahwa krisis ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi covid-19 saat ini lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan krisis-krisis ekonomi yang terjadi sebelumnya. Hal ini karena yang terkena hantaman dari krisis ini adalah supply and demand secara bersamaan.
Krisis ini kemudian menghasilkan the winner sector dan the looser sector. Dalam hal ini, banyak sektor yang colaps seperti pariwisata, perhotelan dan konstruksi. Namun, yang paling menderita adalah UMKM. Pukulan di sektor riil tersebut berakibat pula pada hantaman terhadap sektor perbankan. Menurutnya, situasi ini merupakan ujian bagi seorang pemimpin untuk membawa negara ini agar mampu keluar dari krisis.
Lebih jauh lagi, Misbakhun berpendapat bahwa solusi atas krisis ini harus dengan cara mengoptimalkan resource based economy. Menurutnya, salah satu yang dapat dilakukan oleh negara adalah dengan melakukan quantitative easing.
Hal ini karena kebutuhan negara untuk membiayai penanggulangan dampak dari covid-19 sangat besar. Untuk itu, menurutnya dalam rangka memberikan kepastian terhadap semua sektor ekonomi dalam jangka panjang, pemerintah harus melakukan tindakan yang lebih berani, salah satunya dengan melakukan quantitative easing meskipun kebijakan tersebut tidak populer.
Terahir, pada webinar ekonomi ini, Ketua Umum PP KBPII Narsullah Larada menekankan bahwa pandemi covid-19 memang telah berdampak besar terhadap berbagai sektor kehidupan, terutama sosial-ekonomi.
Meskipun demikian, situasi tersebut harus dijadikan sebagai peluang dan momentum untuk membangun kemandirian ekonomi dengan dukungan kekuatan modal sosial yang dimiliki oleh umat. Ia menghimbau kepada segenap anggota KBPII di seluruh tanah air untuk ikut berkontribusi dan berjuang bersama dalam menyelesaikan krisis sosial-ekonomi tersebut. (*)
*) Nasrullah Larada S.IP., M.S adalah Ketua Umum Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia Periode 2019-2023