JAKARTA - Tak terasa, Hari Raya Idul Fitri sudah di depan mata.
Di momen Lebaran yang biasanya ramai mudik, Presiden Joko Widodo mengimbau warga agar tidak mudik lantaran COVID-19.
Penerbangan ke berbagai destinasi, baik domestik maupun internasional, tidak lagi dilaksanakan.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sudah melarang pesawat komersial termasuk carter, mengangkut penumpang mulai bulan lalu (24/4/2020) hingga 1 Juni 2020.
Hal ini dilakukan guna menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo yang melarang mudik Lebaran 2020, dengan dituangkannya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020.
Alhasil, banyak penerbangan yang dibatalkan dan warga yang mengajukan pengembalian dana alias refund, atas tiket pesawat yang sudah mereka pesan.
Baca: Link Live Streaming Mola TV Freiburg vs Werder Bremen Bundesliga, Akses via HP di Sini
Baca: Ramalan Zodiak Cinta, Minggu 24 Mei 2020: Virgo Lupakan Masa Lalu, Leo Semakin Dekat
Baca: Pasien di Wisma Atlet Alami Tekanan Psikologis, Cemas Ingin Lebaran di Rumah
Baca: Hingga 23 Mei, Pemerintah Telah Periksa 239 Ribu Lebih Spesimen Terkait Covid-19
Membeludaknya jumlah permintaan refund, jelas bukan masalah sepele.
Di media sosial, sudah banyak konsumen yang ‘teriak’ kepada agen travel dan maskapai, karena sistem refund yang memakan waktu lama.
Padahal, lamanya waktu refund ini akibat menumpuknya permintaan di waktu yang bersamaan.
Belum lagi banyak konsumen yang meminta pengembalian uang tiket secara tunai, demi memenuhi kebutuhan hidup di masa pandemi Covid-19.
Keruwetan ini sesungguhnya disebabkan mekanisme pengembalian dana yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat luas.
Gerry Soejatman, pengamat penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia, membahas seluk-beluk mekanisme refund antara maskapai dengan agen travel.
Hal itu ia beberkan lewat akun Twitter @GerryS pada 19 Mei 2020.
Gerry menjelaskan bagaimana sistem refund antara maskapai dengan agen travel yang ternyata cukup ruwet.
Ia juga menyoroti saat ini semua pihak tengah kesulitan dan mengharapkan agar konsumen bisa memperoleh pengertian yang lebih baik, setelah mendapatkan penjelasan yang menyeluruh dari utasnya.
Berikut ini cuplikan utasnya:
Di tengah wabah Covid-19, jumlah penerbangan sudah turun 80% - 90% di Indonesia, dan 65% di Asia Pasifik.
Situasi Covid-19 ini adalah tantangan berat bagi para airline dan hotel-hotel yang lagi pada kejepit karena biaya jalan terus, dan customer pada minta refund.
Namun ada lagi yang kejepit, yaitu travel agent yang sedang proses refund-refund ini.
Cerita dulu ya, 13 tahun yang lalu, maskapai-maskapai mulai pindah ke tiket elektronik dan mulai tidak terima pembayaran cash untuk tiap transaksi tiket.
Modelnya, travel agent setor uang ke maskapai di awal, dan diberi saldo kredit oleh maskapai, atau istilahnya dikenal sebagai Top Up Balance.
Kalau kita beli tiket ke travel agent, travel agent akan proses ke maskapai, lalu maskapai akan mengurangi saldo dari Top Up Balance senilai tiketnya.
Enak, enggak usah bawa-bawa cash lagi ke airline. Tapi, Top Up Balance ini enggak bisa dicairkan lagi jadi uang tunai.
Nah, kalau ada refund, travel agent mengajukan refund ke maskapai.
Setelah selesai diproses, maskapai akan mengembalikan refund tersebut kepada travel agent dalam bentuk saldo kredit Top Up Balance tadi.
Maskapai tidak refund ke travel agent dalam bentuk cash!
Umumnya, travel agent biasanya akan nalangin dulu refund ke customer (dalam bentuk cash/pengembalian limit kartu kredit), menggunakan cash milik travel agent yang didapat dari transaksi.
Gampang kan? Tapi, masalahnya kalau ada pembatalan massal dan tidak ada lagi penjualan seperti sekarang dengan adanya Covid-19, PSBB, pelarangan #mudik, dan lain-lain, mumet ini.
Sekarang permintaan refund tiba-tiba melonjak tinggi, tapi di sisi lain enggak ada pemasukan dari penjualan tiket, baik untuk maskapai ataupun travel agent.
Jadi duit untuk refund-nya juga enggak ada, travel agent juga enggak nerima cash dari maskapai.
Customers tentu berharap proses refund berjalan seperti biasa.
Tapi, travel agent ternyata enggak bisa melayani refund seperti biasa dan butuh proses lebih lama.
Kenapa? Karena prosesnya 'nyangkut.'
Dari dulu travel agent ambil untung dikit dari penjualan tiket, antara 2-7.5%.
Buat refund 1 tiket, butuh untung jual 20-an tiket.
Dalam krisis Covid-19 ini, maskapai-maskapai di luar negeri banyak dikritik karena menolak refund, namun di Indonesia maskapai-maskapai masih bersedia memproses refund.
Masalahnya, kesulitan refund dalam bentuk tunai karena anjloknya penjualan, jadi enggak ada pemasukan.
Pemerintah mengharuskan airline-airline tetap me-refund, sementara airline-airline masih harus bayar gaji karyawan dan sewa pesawat, tapi uang yang diterima hampir berhenti karena Covid-19.
Travel agent kejepit, antara customer dan airline.
Refund yang diberikan airline berupa pemulihan saldo Top Up Balance travel agent di airline atau travel voucher, tapi customer maunya dikembalikan cash.
Mau kasih cash, harus dari penjualan tiket, tapi penjualan lagi anjlok habis.
Mau enggak mau, airline dan travel agent cari cara untuk bagaimana bisa memenuhi refund tanpa membangkrutkan mereka.
Maka untuk tiket-tiket internasional, airline mulai banyak menggunakan credit shell atau travel voucher untuk refund.
Kalau di-refund dalam bentuk travel voucher, saya rasa banyak customer yang kecewa karena mengharapkan refundnya berbentuk uang.
Apalagi kalau di-refund dalam bentuk saldo kredit yang enggak bisa dicairkan. Ya namanya lagi kondisi wabah Covid-19 dan PSBB begini.
Saya dulu pernah mengadapi customer nangis-nangis karena terkena musibah, eh tahu-tahu flight dibatalin dan dia butuh uangnya untuk cari moda transportasi lain, sedangkan uangnya masih ketahan di proses refund maskapai.
Pengin ikut nangis rasanya!
Dalam kondisi tersebut, kita akhirnya talangin, karena simpati, dan kita lakukan atas risiko kita sendiri.
Kalau refund-nya ditolak (bukannya enggak pernah ya!), ya kudu jual 20 tiket lagi buat nutup kerugiannya!
Ada baiknya maskapai dan travel agent menyeleksi kasus-kasus refund mana yang layak diberikan cash (misal beli tiket karena musibah), dan yang memang beli tiket untuk sekedar jalan-jalan bisa pakai travel voucher.
Buat customer juga bisa lebih mengerti kalau refund-nya jadi lebih lama.
Di akhir utas, ia mengimbau para konsumen agar lebih bersabar dalam menghadapi situasi mumet perkara refund yang diakibatkan oleh pandemi ini.
Sebab, saat wabah ini berakhir, tentunya konsumen juga tidak ingin harga tiket pesawat semakin mahal, pilihan jenis akomodasi semakin terbatas dan kemudahan pemesanan tiket makin sulit akibat banyak bisnis yang gulung tikar, baik agent travel, maskapai, maupun hotel.
Gerry juga memperkirakan sektor pariwisata akan kehilangan pendapatan sekitar US$10 miliar tahun ini. (CC)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Harus Menunggu Lama Saat Ingin Refund Tiket Pesawat? Ini Alasannya