TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Nirwala Dwi Heryanto menegaskan, pabrikan wajib menjual rokok dengan harga transaksi pasar (HTP) atau harga akhir konsumen minimal 85% harga jual eceran (HJE) atau harga banderol yang tercantum pada pita cukai.
Ia menyatakan hal ini bertujuan melindungi pabrikan kecil dari praktik predatory pricing (jual rugi).
Predatory pricing merupakan praktik jual rugi yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan cara menjual produk dengan harga serendah-rendahnya, dengan tujuan mematikan produk pesaingnya.
Praktik ini umumnya dilakukan perusahaan yang memiliki kekuatan finansial besar.
“Soal HTP kami menerapkan yang namanya floor price (harga dasar) tidak mungkin lebih rendah 85% dari HJE. Tujuannya untuk mengontrol supaya tidak ada predatory price, konsekuensinya akan kami tegur dengan surat jika dalam triwulan berikutnya tidak memperbaiki,” jelas Nirwala pada diskusi virtual Universitas Gadjah Mada awal pekan ini.
Namun, dalam keterangan lanjutannya, diketahui bahwa teguran terhadap pedagang yang melanggar ketetapan floor price 85% ini hanya berlaku jika ditemukan penjualannya di lebih 40 kantor wilayah bea cukai yang melakukan pengawasan
“Ada yang menjual di ritel di bawah 85% HJE dan ditemukan lebih dari 40 kantor maka kami tegur,” kata Nirwala.
Nirwala sendiri tidak menjelaskan lebih lanjut mengapa Bea Cukai memberikan kelonggaran hingga 40 kantor area sebelum memberikan teguran kepada pabrikan yang menjual rokok di bawah 85% HJE.
Sesuai PMK 188 tahun 2016, diketahui bahwa total kantor wilayah DJBC di seluruh pulau Jawa hanya meliputi 37 kantor area, yang terdiri 2 KPU dan 35 KPPBC.
Pengecualian cakupan pengawasan bea cukai (50% kantor wilayah atau 40 kantor area) inilah yang kemudian dipersoalkan karena tidak memiliki landasan yang jelas dan dinilai memperlebar praktik diskon rokok.
Baca Juga: Empat pejabat Bea Cukai jadi tersangka kasus impor tekstil di Batam
Dengan adanya pengecualian ini, tujuan pengontrolan predatory pricing yang dinyatakan Nirwala menjadi tidak tercapai. Klausul pengecualian tersebut juga bertolak belakang dengan upaya pengendalian konsumsi rokok dan mengancam penerimaan negara.
Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) tahun 2019 menyebutkan, potensi kehilangan pendapatan negara dari PPh badan akibat diskon rokok mencapai Rp 1,73 triliun. Temuan Peneliti Kebijakan Publik Emerson Yuntho menunjukkan, potensi kehilangan pendapatan itu bertambah menjadi Rp 2,6 triliun di tahun 2020.
Sebelumnya, Direktur Indef Tauhid Ahmad menjelaskan, muncul beberapa persoalan di lapangan terkait pengawasan produk rokok yang menjual di bawah 85% HJE.