Laporan Reporter Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kalangan pelaku properti berpendapat, usulan penyeragaman atau standardisasi Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) di lingkungan rumah susun dan apartemen di Indonesia cukup sulit direalisasikan karena kendala banyak faktor.
Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) REI DKI Jakarta Arvin Iskandar berpendapat, setiap rumah susun atau apartemen memiliki kondisi dan karakter yang berbeda-beda. Antara lain bisa dilihat dari apek jumlah unit yang dihuni, luas kawasan, serta fasilitas yang tersedia.
Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menerima banyak laporan seputar keluhan IPL di rumah susun dan apartemen. Sepanjang 2019 lalu Ombudsaman menerima 46 aduan, dan aduan terbanyak adalah seputar IPL.
Aduan lainnya adalah berkaitan dengan pembentukan PPPSRS yang masih belum terlaksana hingga Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Arvin menyebutkan, dalam Undang-undang (UU) No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, tidak ada aturan khusus mengenai standardisasi biaya pengelolaan.
Karena itu, dia berpendapat IPL tidak perlu distandardisasi. "Tapi kebijakan dan aturan perlu ada dari pemerintah. Selanjutnya serahkan ke PPPSRS (Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun),” kata Arvin, Jumat (21/8/2020).
Dia menambahkan, IPL sulit distandarkan pada apartemen dan rumah susun lantaran komponen seperit tagihan listrik biasanya pengembang membeli energi listrik secara gelondongan dari PLN dan kemudian oleh pengembang dijual ke penghuni.
Arvin menyarankan agar pada setiap unit dipasangi meteran dengan sistem token. Tujuannya, agar setiap penghuni bisa mengontrol dan bertanggung jawab terhadap penggunaan listrik di unit masing-masing.
Namun dia mengingatkan, untuk kewajiban atas penerangan fasilitas umum atau fasilitas bersama harus ditanggung bersama-sama oleh seluruh penghuni.
Arvin juga mengingatkan agar Pemerintah melalui dinas perumahan memang harus lebih aktif mengawal pembentukan PPPSRS, misalnya di DKI Jakarta.
Mengacu pada Peraturan Gubernur Nomor 133 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 132 Tahun 2018 mengenai Pembinaan Pengelolaan Rumah Susun Milik (Rusunami), dalam kurun waktu satu tahun PPPSRS sementara harus segera dibentuk dan melakukan serah terima dengan pengurus resmi.
Jika Dinas Perumahan terlibat aktif dalam mendampingi pembentukan PPPSRS juga untuk memininalisir adanya maladminitrasi di PPPSRS.
“Pemerintah juga harus segera mengurus perizinan dan sertifikasi agar dapat dilaksanakan lebih cepat sehingga tidak ada kendala dikemudian hari,” ujarnya.
Sementara itu, Senior Associate Director Real Estate Management Services Colliers Andy Harsanto berpendapat, permasalahan IPL memang kerap muncul dalam tata kelola rusun atau apartemen.
Biasanya konflik IPL terjadi di segmen kelas menengah dan menengah ke bawah. Andy berpendapat, besaran atau tarif IPL biasanya sudah ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama, sehingga seharusnya tidak lagi menjadi perdebatan.
Dia menekankan, penentuan besaran IPL yang tidak sesuai akan berdampak terhadap kualitas perawatan gedung. Jika gedung tidak dirawat dengan benar maka bisa terjadi insiden yang membahayakan penghuni itu sendiri.
Apalagi untuk unit yang sudah 100 persen terjual, pengembang tidak lagi ikut dalam pembiayaan perawatan.
Untuk biaya perawatan gedung, baik rusun maupun apartemen dibutuhkan simpanan jangka panjang atau sinking fund untuk menjaga pengelolaan lingkungan tetap baik.
Dia menyebutkan, untuk perawatan lift, kalau AC central di unit sih gak, paling untuk koridor-koridor, tapi itu juga cukup memakan biaya.
Begitu juga keperluan pengecatan berkala gedung yang setiap 3-5 tahun biasanya terlihat kusam. Karena itu, lanjut Andy, harus ada transparansi/akuntabilitas publik agar kepercayaan terhadap pengelola terbangun.