Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partner Research and Training Services DDTC Bawono Kristiaji menilai kebijakan penyederhanaan struktur (simplifikasi) tarif cukai hasil tembakau perlu dilanjutkan.
Meskipun Indonesia telah memangkas total layer tarif cukai hasil tembakau yang mencapai 19 layer pada tahun 2010 menjadi tinggal 10 lapisan tarif CHT, namun lapisan tarif cukai tembakau masih perlu disimplifikasi lebih lanjut.
Bawono memberikan dukungan kepada pemerintah agar tetap melanjutkan aturan yang sebelumnya juga tertuang dalam PMK 146 Tahun 2017.
"Simplifikasi tarif cukai hasil tembakau akan memberikan level playing field antar karakteristik industri hasil tembakau. Jadi antara karakteristik, pangsa pasar dan kemampuan ekonomis head-to-head supaya tidak terlalu banyak pihak yang memanfaatkan lapisan-lapisan tersebut," ujar Bawono kepada wartawan, Selasa (1/9/2020).
Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Willem Petrus Riwu berpendapat agar struktur tarif CHT sebanyak 10 lapisan tarif dipertahankan.
Hal ini disebabkan struktur tarif tersebut dinilai mampu mempertahankan serapan tenaga kerja, volume produksi, serapan bahan baku lokal, termasuk menekan peredaran rokok ilegal.
Sejatinya kebijakan cukai hasil tembakau tidak bisa dilepaskan dari tiga pilar yakni pengendalian konsumsi, penerimaan negara dan juga mencakup industri dan sektor ketenagakerjaan.
Analis Kebijakan Ahli Madya BKF Kementerian Keuangan Wawan Juswanto juga menambahkan dalam membuat kebijakan dan tarif cukai yang diejawantahkan di PMK 77/2020, sektor SKT selaku sektor padat karya akan tetap diperhatikan.
“Kita setuju bersama ingin mendorong yang padat karya. Jadi kita memberikan prioritas yang padat karya dalam struktur tarif cukai," tukasnya.
Diketahui, kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau atau simplifikasi akan kembali dijalankan mengingat aturan ini telah tercantum pada Perpres 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024.
Beleid ini juga telah menjadi bagian dari rencana strategis ke depan yang tercantum pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 77 Tahun 2020.