Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro Prof Dr FX Sugiyanto menilai kehadiran Dewan Kebijakan Ekonomi Makro berpotensi tumpang tindih dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam mengambil arah kebijakan.
Menurutnya, kondisi saat ini belum membutuhkan Dewan Kebijakan Ekonomi Makro seperti diwacanakan dalam usulan Revisi UU Nomor (RUU) 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
"Sejujurnya saya agak kaget di Pasal 7 dimasukkan Dewan Kebijakan Ekonomi Makro. Ini sangat menarik karena saya langsung teringat dahulu ada yang namanya Dewan Moneter. Namun saya bertanya sebetulnya esensi apa yang ingin dalam RUU sehingga perlu Dewan Kebijakan Ekonomi Makro," ucap Sugiyanto dalam webinar bertajuk Revisi UU BI dan Perppu Reformasi Keuangan: Mau Dibawa Kemana Independensi Bank Sentral?, Kamis (1/10/2020).
Baca: Ini Kata Gubernur Bank Indonesia soal Rencana Revisi UU BI
Secara ringkas, dia menekankan perlu dilakukan kajian yang sangat serius dan sangat mendalam agar esensi Bank Indonesia yang seharusnya independen atau justru malah terganggu.
Guru Besar Ekonomi Undip itu menambahkan bila tujuannya koordinasi yang lebih baik maka perlu mempertimbangkan UU Nomor 9 tahun 2016 mengenai PP KSSK mengenai stabilitas keuangan.
"Saya khawatir nanti ini terjadi overdosis di dalam kebijakan. Kira-kira peran Dewan Kebijakan Ekonomi Makro ini nanti posisinya bagaimana? Bahwa dibutuhkan koordinasi iya. Tetapi dalam pandangan saya ini tidak terlalu dibutuhkan," ucap Sugiyanto lagi.
Seperti diketahui, Dewan Kebijakan Ekonomi Makro ini bertugas untuk memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Dewan tersebut dari lima anggota, yakni Menteri Keuangan, dan satu orang menteri yang membidangi perekonomian, Gubernur BI dan Deputi Gubernur Senior BI, serta Ketua Dewan Komisioner OJK.
Pemerintah juga dapat menambah beberapa orang menteri sebagai penasehat kepada Dewan Kebijakan Ekonomi Makro.