News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

UU Cipta Kerja

Rincian Pasal yang Menurut Pemerintah Justru Jamin Hak-hak Buruh di UU Cipta Kerja

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sejumlah mahasiswa dan pelajar melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Jalan Basuki Rahmat, Kota Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020). Buruh dan mahasiswa berkumpul untuk melakukan aksi menuju Gedung Grahadi. Surya/Ahmad Zaimul Haq

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah menyatakan, kalangan buruh selama ini tidak komprehensif memahami isi pasal demi pasal dalam UU Cipta Kerja yang disahkan Rapat Paripurna DPR RI.

Pemerintah menyatakan, hak-hal normatif buruh, mulai dari hak cuti hamil dan melahirkan sampai upah minimum tetap dijamin dalam UU Cipta Kerja.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah menjamin cuti-cuti mulai dari haid hingga melahirkan di UU Cipta Kerja.

"Pengusaha diwajibkan memberikan waktu cuti dan istirahat, wajib memberikan waktu ibadah. Demikian juga terkait cuti-cuti, baik itu melahirkan, menyusui, dan haid tetap sesuai undang-undang dan tidak dihapus," ujarnya saat konferensi pers virtual, Rabu (7/10/2020).

Sementara itu, Airlangga juga memastikan, ketentuan istirahat bagi pekerja atau buruh di UU Cipta Kerja masih sesuai aturan lama.

Baca: Di UU Cipta Kerja Perusahaan Asing Bisa Bebas Pajak Dividen, Begini Syaratnya

"Kemudian terkait dengan waktu kerja, istirahat Minggu tetap seperti undang-undang lama," katanya.

Disisi lain, dia menambahkan, pekerja outsourcing juga akan mendapatkan jaminan perlindungan upah dan kesejahteraan.

"Lalu, untuk tenaga kerja asing yang diatur adalah mereka yang membutuhkan untuk perawatan, maintanence, maupun tenaga peneliti yang melakukan kerja sama ataupun kepada mereka yang melakukan atau datang sebagai pembeli," ujarnya. 

Ribuan buruh melintas di Jalan Basuki Rahmat menuju Tugu Pahlawan, Kota Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020). Buruh dan mahasiswa berkumpul untuk melakukan aksi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Surya/Ahmad Zaimul Haq (Surya/Ahmad Zaimul Haq)

Sementara itu, Menteri Ketanagakerjaan Ida Fauziah mengatakan, UU Cipta Kerja tetap mengatur syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja atau buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

"Ini yang menjadi dasar dalam penyusunan perjanjian kerja," ujarnya saat konferensi pers virtual, Rabu (7/10/2020).

Baca: Kontroversi UU Cipta Kerja, Stafsus Sri Mulyani: Hotel dan Tempat Hiburan Bebas PPN Sudah Sejak 2009

Di samping itu, juga UU Cipta Kerja mengatur perlindungan tambahan berupa kompensasi pekerja atau buruh pada saat berakhirnya PKWT.

"Jadi, ketentuan syarat-syarat itu ada tambahan baru yang tidak dikenal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 yang itu adalah justru memberikan perlindungan kepada pekerja PKWT," kata Ida.

Baca: Daftar Pasal Kontroversial UU Cipta Kerja yang Memicu Amarah Buruh, Pasal-pasal Ini Paling Dimusuhi

Dia menambahkan, klaster ketenagakerjaan dalam rangka penguatan perlindungan, meningkatkan peran, dan kesejahteraan pekerja atau buruh dalam mendukung ekosistem investasi UU Ketenagakerjaan.

"Selain itu, juga mengubah, menghapus, dan menetapkan pengaturan baru dari beberapa ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, UU Nomor 40 Tahun 2004, UU Nomor 24 Tahun 2011, dan UU Nomor 18 Tahun 2017," ujarnya.

Upah Minimum

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mencontohkan, penetapan upah minimum tahun 2021 sementara ini akan tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

Namun, dia mengatakan adanya pandemi Covid-19 turut memukul perekonomian Indonesia. Terkait ini dia mengatakan, penetapan upah minimum tahun mendatang tidak bisa ditetapkan seperti dalam kondisi normal.

Baca: Pakar Hukum UGM Tolak UU Cipta Kerja: Tekanan Publik Harus Dilakukan, Selain Judicial Review

Apalagi, sesuai dengan PP 78/2019 , tahun 2021 seharusnya dilakukan peninjauan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

"Akibat dari pandemi covid-19 ini, pee kita minus, saya kira tidak memungkinkan bagi kita menetapkan secara normal sebagaimana peraturan pemerintah maupun sebagaimana peraturan perundangan-undangan," jelas Ida dalam konferensi pers, Rabu (7/10/2020). 

Baca: Akademisi Kampus Khawatir Praktik Korupsi Makin Liar dan Meluas karena UU Cipta Kerja

Dia mengatakan Dewan Pengupahan Nasional telah merekomendasikan supaya UMP tahun 2021 sama seperti tahun 2020. Menurutnya, saran ini akan menjadi masukan untuk penetapan upah minimum tahun depan.

"Karena kalau kita paksakan mengikuti PP 78 atau mengikuti UU baru ini pasti akan banyak sekali perusahaan-perusahaan yang tidak mampu membayar upah minimum provinsi," jelas Ida, seperti dilansir dari Kontan dalam artikel "Menaker: Dewan Pengupahan rekomendasikan UMP tahun 2021 sama seperti tahun 2020".

Meski begitu, Ida pun memastikan pihaknya akan memberikan perkembangan terbaru dan tetap mendengarkan masukan dari Dewan Pengupahan Nasional.

Bahas UMP 2021 Bareng Pengusaha dan Serikat Buruh

Menteri Ketenagakerjaan mengatakan, penetapan formula hitungan UMP 2021 diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

"Terkait dengan upah minimum, tata cara penetapan upah minimum sudah kami melaporkan kepada Pak Presiden," ujarnya saat konferensi pers virtual, Rabu (7/10/2020).

Baca: 17 Mahasiswa Unima Diamankan Pasca Bentrok Aksi Demo Tolak UU Cipta Kerja di Minahasa

Pengaturan pembahasan akan menyertakan struktur ketenagakerjaan dalam hal ini serikat pekerja, serikat buruh, dan pengusaha yang diwakili Apindo, serta Kadin dalam forum tripartit nasional.

Jadi, lanjut Ida, pemerintah benar-benar melakukan pembahasan Peraturan Pemerintah ini dengan menyertakan stakeholder di bidang ketenagakerjaan.

Sementara itu, terkait dengan besaran UMP 2021 masih berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar penghitungan.

"Memang di PP tersebut dalam kurun waktu 5 tahun akan ada peninjauan KHL dan jatuhnya adalah pada tahun 2021. Ada perubahan komponen KHL untuk tahun 2021 ini," pungkasnya.

Menaker Menjawab Tuntutan Buruh yang Menolak UU Cipta Kerja

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, menjawab tujuh isu krusial buruh yang ramai-ramai menolak UU Cipta Kerja.

Dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Selasa (6/10/2020), Ida memaparkan poin krusial seperti PWKT, PHK, pesangon, maupun hak cuti.

"Terdapat prinsip-prinsip umum yang dipatuhi dalam penyusunan Klaster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja. Penyusunan ketentuan klaster ketenagakerjaan memperhatikan hasil putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU 13/2003. Ketentuan mengenai sanksi ketenagakerjaan dikembalikan kepada UU 13/2003," ujar Ida.

Baca: Pelajar SMK Ikut Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja, Lempar Batu hingga Berujung Ricuh

Ia mengatakan, RUU Cipta Kerja tetap mengatur syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja/buruh PKWT yang menjadi dasar dalam penyusunan perjanjian kerja.

"Disamping itu, RUU Cipta Kerja mengatur perlindungan tambahan berupa kompensasi kepada pekerja/buruh pada saat berakhirnya PKWT," kata dia.

Baca: Ekonom Bahana Sekuritas Optimistis Pengesahan UU Cipta Kerja Tak Diikuti PHK Besar-Besaran

Selanjutnya, syarat-syarat dan perlindungan hak bagi pekerja/buruh dalam kegiatan Alih Daya (outsourcing) masih tetap dipertahankan.

Bahkan RUU Cipta Kerja memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian Perusahaan Alih Daya. Hal ini sesuai dengan amanat putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011.

"Dalam rangka pengawasan terhadap Perusahaan Alih Daya, RUU Cipta Kerja juga mengatur syarat-syarat perizinan terhadap perusahaan Alih Daya yang terintegrasi dalam sistem Online Single Submission (OSS)," terangnya.

Baca: Sudah Disahkan, Apakah UU Cipta Kerja Bisa Dibatalkan?

Kemudian, terkait ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat tetap diatur seperti UU eksisting (UU 13/2003) dan menambah ketentuan baru mengenai pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat pada sektor usaha dan pekerjaan tertentu.

Hal ini untuk mengakomodir tuntutan perlindungan pekerja/buruh pada bentuk-bentuk hubungan kerja dan sektor tertentu yang di era ekonomi digital saat ini berkembang secara dinamis.

Lalu, ujar Ida, RUU Cipta Kerja tetap mengatur hak-hak dan perlindungan upah bagi pekerja/buruh sebagaimana peraturan perundang-undangan eksisting (UU 13/2003 dan PP 78/2015) dan selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang baru.

Dalam poin UMK ia mengatakan, terdapat penegasan variabel dan formula dalam penetapan Upah Minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Selain itu, ketentuan mengenai Upah Minimum Kabupaten/Kota tetap dipertahankan.

"Dengan adanya kejelasan dalam konsep penetapan Upah Minimum dimaksud, maka RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan mengenai penangguhan pembayaran Upah Minimum," jelas politis PKB ini.

Ida pun menerangkan, dalam rangka memperkuat perlindungan upah bagi pekerja/buruh serta meningkatkan pertumbuhan sektor Usaha Mikro dan Kecil, maka RUU Cipta Kerja mengatur ketentuan pengupahan bagi sektor Usaha Mikro dan Kecil.

Baca: Ekonom: Klaster Perpajakan di UU Cipta Kerja Bikin Penerimaan Negara Berkurang

Sementara dalam rangka perlindungan kepada pekerja/buruh yang menghadapi proses pemutusan hubungan kerja (PHK), RUU Cipta Kerja tetap mengatur ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara PHK.

"RUU Cipta Kerja tetap memberikan ruang bagi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam memperjuangkan kepentingan anggotanya yang sedang mengalami proses PHK," ungkap Ida.

RUU Cipta Kerja semakin mempertegas pengaturan mengenai “upah proses” bagi pekerja/buruh selama PHK masih dalam proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (incraht). Hal ini sebagaimana amanat Putusan MK No.37/PUU-IX/2011.

"Kemudian dalam rangka memberikan jaminan sosial bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK, RUU Cipta Kerja mengatur ketentuan mengenai program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang manfaatnya berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja," tutup Ida.

Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) beserta 32 federasi serikat buruh lainnya akan melakukan aksi mogok nasional.

Aksi tersebut dilangsungkan pada 6-8 Oktober 2020 sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja.

Mereka mengemukakan 7 poin tuntutan.

Berikut tujuh isu tersebut seperti yang dikutip dari Kompas.com :

1. Menolak penghapusan Upah Minimum Sektoral (UMSK) dan pemberlakuan Upah Minimum Kabupaten/Kota bersyarat.

2. Menolak pengurangan nilai pesangon, dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Pesangon senilai 19 bulan upah dibayar pengusaha, sedangkan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.

3. Menolak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang bisa terus diperpanjang alias kontrak seumur hidup.

4. Menolak Outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batasan jenis pekerjaan.

5. Menolak jam kerja yang eksploitatif.

6. Menuntut kembalinya hak cuti dan hak upah atas cuti. Termasuk cuti haid, dan cuti panjang.

7. Karena karyawan kontrak dan outsourcing bisa berlaku seumur hidup, maka buruh menuntut jaminan pensiun dan kesehatan bagi karyawan kontrak dan outsourcing.

"Dari tujuh isu hasil kesepakatan tersebut, buruh menolak keras. Karena itulah, sebanyak 2 juta buruh sudah terkonfirmasi akan melakukan mogok nasional yang berlokasi di lingkungan perusahaan masing-masing,” kata Ketua KSPI Said Iqbal beberapa waktu lalu.(Rina Ayu/Yanuar/Tribunnews.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini