Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Indef Bhima Yudhistira menanggapi klaim Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut kondisi perekonomian Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan negara lain di kawasan ASEAN dan anggota G20.
Ia mengatakan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Vietnam pada kuartal III 2020 sebesar 2,62 persen, negara tersebut bisa dikatakan telah lepas dari resesi, berbeda dengan perekonomian Indonesia.
Baca juga: Sri Mulyani Tolak Wacana Kemenperin Bebaskan Pajak Mobil Jadi 0 Persen
"Dibandingkan Vietnam yang tumbuh 2,62 persen pada kuartal ke III 2020 dibanding tahun sebelumnya," ujar Bhima, kepada Tribunnews, Senin (19/10/2020).
Menurutnya, masih banyak langkah pemulihan yang harus dilakukan pemerintah.
Baca juga: Staf Khusus Menkeu: Kepercayaan Investor Global Terhadap Pemulihan Ekonomi RI Cukup Tinggi
Baca juga: Indef: UU Cipta Kerja Tak Cukup untuk Tuntaskan Persoalan Investasi Indonesia
Baca juga: UU Cipta Kerja Disahkan, Bisakah Jadi Karpet Merah untuk Investor? Begini Kata Analis Indef
Terlebih resesi ini juga merupakan dampak dari lambannya pemerintah dalam menangani pandemi virus corona (Covid-19).
"Tentu Indonesia harus lebih banyak lakukan langkah pemulihan, kinerja ekonomi Indonesia terbilang mengecewakan, karena lambatnya penanganan Covid-19," jelas Bhima.
Jika membandingkan dengan Vietnam, kata Bhima, pemerintah negara itu cepat melakukan antisipasi terkait penanganan pandemi.
"Contohlah Vietnam itu yang kuartal II saja sudah positif 0,3 persen pertumbuhan ekonominya, karena pemerintah cepat lakukan antisipasi wabah, sementara Indonesia akan masuk dalam resesi ekonomi," kata Bhima.
Oleh karena itu, ia menekankan agar pemerintah realistis terhadap kondisi ekonomi saat ini.
Pemerintah juga harus menyadari bahwa realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pun masih rendah.
"Pemerintah tidak bisa terus menerus over optimis, harus realistis melihat kondisi apalagi realisasi stimulus PEN masih rendah," tegas Bhima.
Sebelumnya, dalam Capital Market Summit & Expo 2020, Menkeu Sri Mulyani mengatakan kondisi ekonomi Indonesia saat masa pandemi ini masih jauh lebih baik dibandingkan negara lain anggota ASEAN maupun G20.
"Negara-negara di dunia juga masih mengalami struggle untuk menghadapi Covid-19), dan mereka menggunakan instrumen fiskalnya secara luar biasa, kalau kita lihat dari sisi magnitudenya, seluruh dunia terjadi pelebaran defisit fiskal yang luar biasa besar," jelas Sri Mulyani.
Beberapa diantaranya adalah ekonomi Thailand Malaysia dan Filipina.
Thailand diperkirakan terkontraksi minus 9,3 persen pada kuartal III 2020, sedangkan Malaysia dan Filipina masing-masing terkontraksi minus 4,5 persen dan minus 6,3 persen.
"Kita relatif dalam resesi yang cukup baik, meskipun ini tentu tidak membuat kita terlena, kita tetap berusaha untuk mengembalikan perekonomian kita kepada zona positif," kata Sri.
Apa Itu Resesi?
Melansir Forbes, 1 September 2020, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan, berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Para ahli menyatakan, resesi terjadi ketika ekonomi suatu negara mengalami produk domestik bruto (PDB) negatif, tingkat pengangguran meningkat, penjualan ritel turun, serta ukuran pendapatan dan manufaktur menyusut dalam jangka waktu yang lama.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menjelaskan, secara teoritis suatu negara dikatakan resesi, salah satunya disebabkan pertumbuhan ekonomi dua kuartal berturut-turut berada di nilai minus.
Indikator lain suatu negara mengalami resesi ada pada inflasi dan nilai kurs rupiah.
Apa penyebab resesi?
Ada lebih dari satu penyebab untuk memulai resesi, dari guncangan ekonomi yang tiba-tiba hingga dampak inflasi tak terkendali.
Berikut beberapa pendorong utama terjadinya resesi:
1. Guncangan ekonomi yang tiba-tiba
Guncangan ekonomi merupakan masalah kejutan yang menimbulkan kerusakan finansial serius.
Wabah virus corona yang mematikan ekonomi seluruh dunia, menjadi contoh terbaru dari gunccangan ekonomi yang tiba-tiba.
2. Utang yang berlebihan
Saat individu atau bisnis mempunyai terlalu banyak hutang, biaya membayar hutang dapat meningkat ke titik di mana penghutang tak dapat membayar tagihannya.
3. Aset
Pengambilan keputusan investasi didorong oleh emosi, membuat ekonomi yang buruk dapat terjadi.
Investor dapat menjadi terlalu optimis selama ekonomi kuat.
Kegembiraan irasional menggembungkan pasar saham atau gelembung real estat, di mana saat gelembung ini meletus, panic selling dapat menghancurkan pasar dan menyebabkan resesi.
4. Inflasi
Inflasi merupakan tren harga yang stabil dan naik dari waktu ke waktu. Inflasi yang berlebihan menjadi hal berbahaya.
5. Deflasi
Meskipun inflasi tak terkendali dapat membuat resesi, deflasi bisa menjadi lebih buruk.
Deflasi terjadi saat harga turun dari waktu ke waktu, menyebabkan upah menurun dan menekan harga.
6. Perubahan teknologi
Penemuan baru meningkatkan produktvitas dan membantu perekonomian dalam jangka panjang, tapi mungkin terdapat periode penyesuaian jangka pendek untuk terobosan teknologi.
Apa dampaknya pada masyarakat?
Menurut Fahmy, resesi akan berpengaruh pada pasokan atau supply barang yang menurun secara drastis, tapi permintaan tetap.
Sehingga, harga akan naik dan memicu inflasi. Inflasi yang tak terkendali membuat daya beli masyarakat menurun, menyebabkan pertumbuhan ekonomi semakin terpuruk.
Selain itu, resesi dapat meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan, resesi akan berdampak secara langsung terhadap daya beli masyarakat yang menurun.
Hal ini mengartikan kebutuhan masyarakat dan pendapatan tak sebanding.
Resesi juga akan membuat pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor.
Apa yang bisa dilakukan?
Bisnis di bidang digital menjadi salah satu hal yang menjanjkan di masa sulit, lantara masyarakat banyak memenuhi kebutuhan melalui platform digital.
Diberitakan Kompas.com, 4 Agustus 2020, pakar finansial Ahmad Gozali menjelaskan beberapa cara bertahan saat resesi, seperti:
- Melindungi sumber penghasilan
Sebagai karyawan, sebaiknya tidak agresif pindak pekerjaan sebelum ada kepastian bahwa pekerjaan yang baru lebih stabil.
Sementara sektor usaha, pertimbangkan rencana ekspansi.
- Dana cadangan
Besaran dana cadangan sebaiknya dijaga 3-12 kali pengeluaran bulanan dalam bentuk liquid.
Dana cadangan menjadi semakin penting dan jangan digunakan untuk hal lain.
Sedangkan menurut Bhima, dana darurat setidaknya sebesar 20-40 persen dari pendapatan.
- Tahan pembelanjaan besar
Rencana untuk melakukan kredit kendaraan atau rumah perlu dipelajari lagi risikonya.
Jangan terlalu memaksakan, terlebih menggunakan dana cadangan untuk pembiayaan kredit ini.
Bhima mengatakan, pengelolaan keuangan di masa resesi wajib diprioritaskan ke kebutuhan pokok meliputi bahan pangan, obat-obatan, tagihan listrik, hingga kuota internet.
- Belanja kebutuhan pokok secara rutin
Pembelanjaan kebutuhan rumah rangga menjadi hal penting yang dapat mendorong ekonomi dominan.
Pengalokasian dana ke investasi masih dapat dilakukan ke aset yang aman.
Aset-aset aman tersebut seperti emas, logam mulia, surat utang pemerintah, dan deposito bank dengan tenor jangka pendek (kurang dari dua tahun).
sumber: