Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK - Pemerintah membentuk tim independen guna menyampaikan ke publik dan menyerap aspirasi terkait Rancangan Peraturan Presiden (RPP), dan Rancangan Peraturan Presiden (RPepres) UU Cipta Kerja yang sedang disusun.
Hal itu guna memastikan seluruh kepentingan masyarakat terakomodasi.
“Kami sangat berharap acara ini menjadi sarana yang efektif untuk tukar pendapat, menyampaikan masukan, dan memperoleh tanggapan dari bapak dan ibu semua guna penyempurnaan RPP,” tutur Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara, Riset, dan Inovasi Kemenko Perekonomian, Montty Girianna saat menyampaikan keynote speech dalam kegiatan Serap Aspirasi UU Cipta Kerja, Jumat (4/12/2020), di Pontianak, Kalimantan Barat.
Baca juga: Pengamat UIN: Perizinan KEK Akan Lebih Mudah karena Ada UU Cipta Kerja
Menggenapi rencana kegiatan Serap Aspirasi UU Cipta Kerja di 14 kota di Indonesia, hari ini kegiatan tersebut digelar di Kota Pontianak. Kegiatan Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja di Kota Khatulistiwa menyasar sektor Perizinan Berusaha Berbasis Resiko dan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Baca juga: Sosialisasi UU Cipta Kerja, Pemerintah Bahas Tata Ruang Hingga Industri
“Sektor Perizinan Berusaha Berbasis Resiko, pada UU Cipta Kerja memperkenalkan perubahan paradigma dan konsepsi perizinan berusaha, yakni mengubah pendekatan aturan berbasis izin atau license based menjadi aturan berbasis risiko atau Risk Based Approach (RBA),” ujar Deputi Montty.
Perizinan berusaha, lanjut Montty, hanya diterapkan kepada kegiatan usaha yang berisiko tinggi, baik dilihat dari segi kesehatan, keselamatan, lingkungan, maupun kepentingan umum.
Menurutnya, implementasi perizinan berusaha di lapangan cukup bervariasi dan pengawasan terhadap kegiatan usahanya tidak optimal dilaksanakan.
“Hal-hal tersebut melatarbelakangi disusunnya perizinan berusaha berbasis risiko. Hal ini juga sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo mengenai pangkas perizinan berusaha, sederhanakan prosedur perizinan, serta penerapan standar usaha dan perlakuan khusus untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK),” terangnya.
Mengenai LHK, UU yang disempurnakan ialah UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 41/1999 tentang Kehutanan, dan UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Tiga RPP tengah disusun yakni tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, tata kelola kehutanan, dan tata cara pengenaan sanksi administratif dan PNBP atas kegiatan usaha yang telah dibangun di dalam kawasan hutan.
UU Cipta Kerja mengamanatkan bahwa penyusunan dan penilaian Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) diintegrasikan ke dalam proses perizinan berusaha. AMDAL merupakan safeguard dari kegiatan usaha dan merupakan bagian utama yang tidak terpisahkan dari proses perizinan berusaha.
Selain itu, UU Cipta Kerja mengamanatkan agar masyarakat penggarap hutan diberikan kesempatan untuk mendapatkan perizinan berusaha. Pemerintah akan memberikan kemudahan menggarap kawasan hutan bagi masyarakat.
“Masyarakat diberikan hak atas tanah Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) setelah dilakukan pelepasan kawasan hutan. Pemerintah kemudian memberikan bantuan, insentif, dan akses permodalan dan teknologi agar masyarakat dapat memanfaatkan aset lahan ataupun kawasan hutan yang sudah menjadi haknya, menjadi lebih produktif, serta kawasan hutan akan tetap terjaga fungsinya,” tutur Deputi Montty.
Setumpuk kasus tumpang tindih perizinan di kawasan hutan atau kasus-kasus penguasaan hutan tanpa izin usaha menjadi fokus UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja akan menyelesaikan kasus-kasus tersebut melalui penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif, dan/atau paksaan pemerintah pencabutan izin usaha.
“Prinsipnya, pemerintah tetap mempertahankan luasan hutan lindung dan konservasi,” pungkas Montty.