TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembatasan konsumsi rokok di Tanah Air menjadi dilema.
Jika dibatasi, pendapatan negara dari cukai dan pajak berkurang.
Namun, jika tidak, isu kesehatan akibat rokok bisa menjadi masalah serius.
Baca juga: Harga Rokok Diperkirakan Akan Naik, Ini Reaksi Para Perokok
Sebetulnya penurunan prevalensi perokok anak di bawah usia 18 tahun sudah masuk dalam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Targetnya, menurunkan konsumsi rokok anak di bawah umur hingga 8,7 persen secara bertahap.
Namun, dilema membuat penurunan konsumsi rokok jadi tantangan.
Menanggapi hal itu, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Muhaimin Moefti mengatakan, pembatasan rokok untuk anak usia di bawah usia sudah menjadi tujuan pelaku usaha yang tergabung dalam Gaprindo.
Jika akibatnya perusahaan mengalami penurunan pendapatan, itu sudah konsekuensi.
"Merokok itu bukan untuk anak-anak, itu keyakinan. Jadi kalau kita melakukan kampanye supaya anak-anak tidak merokok lagi, apakah merugi kita? Itu konsekuensi bisnis kita karena keyakinan kita tadi," kata Moefti dalam konferensi pers virtual, Rabu (16/12/2020).
Baca juga: Tarif Cukai Rokok Naik di 2021, Ini Tanggapan Indonesian Tobacco
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, Industri Hasil Tembakau (IHT) berkontribusi sebesar 10 persen atau Rp 181,7 triliun dalam penerimaan cukai dan pajak.
Pada APBN, kontribusinya mencapai 9 persen.
Penerimaan negara dari cukai dan pajak IHT terus mengalami peningkatan sejak 2012.
Pada tahun 2019, penerimaan cukai dari IHT mencapai Rp 173,95 triliun. Sementara penerimaan pajak mencapai Rp 28.792 miliar.
Pada tahun 2019 pula, ekspor IHT mencapai 900,05 juta dollar AS dari total produksi 357 miliar batang.