Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Cuaca tahun 2020 terjadi anomali iklim di samudra pasifik yang menyebabkan iklim La Nina yang berdampak pada peningkatan curah hujan di sebagain besar kawasan Indonesia.
Pengolahan garam terkena dampak kemarau basah akibat iklim ini.
Direktur PT Inti Daya Kencana (IDK)Harry Kristanto mengatakan bahwa menjadi kendala bagi pengolahan garam di Indonesia.
Baca juga: Dorong Indonesia Berswasembada Garam, Seperti Ini Tantangannya
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, tahun 2020 Indonesia diperkirakan produksi garam turun menjadi 1,3 juta ton dari 2,7 juta ton di tahun lalu. Normalnya musim hujan di Indonesia 6 bulan pertahun, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 4 bulan pertahun, sedangkan tahun 2020 musim kemarau tetap turun hujan.
“Curah hujan yang tinggi menjadi momok yang paling ditakuti bagi pengolahan garam,” ujar Harry kepada media.
Harry menambahkan penolahan garam PT IDK sudah antisipasi agar kualitas garam yang diproduksinya tidak terpengaruh oleh curah hujan tinggi.
Baca juga: Manfaat Garam Hitam untuk Kesehatan: Mengatur Tekanan Darah hingga Bantu Turunkan Berat Badan
Pada saat musim hujan, lapisan garam yang di lahan dilapisi dengan air konsentrasi air garam, yang mana berat jenisnya lebih berat dari air hujan.
“Air garam ini melindungi dari air hujan, dan air hujan yang ada di atas air garam dapat dibuang,” ujarnya.
Harry mengatakan lahan garam milik PT IDK di Kab Malaka NTT tidak seperti ladang garam yang ada di Indonesia.
Lahan garam tersebut di lapisi lapisan garam setebal 5 cm yang disebut meja garam, sebagai alas produksi garam dari air laut.
Dia menambahkan untuk proses membentuk meja garam membutuhkan waktu 1 tahun.
Setelah meja garam terbentuk, lahan tersebut dapat memproduksi garam.
“Kita panen garam di atas garam, tidak seperti pengolahan garam tradisional yang mana panen garam di atas tanah,” jelasnya.
Garam yang dihasilkan merupakan garam untuk kebutuhan industri dengan kadar NaCl 98% dan kadar magnesium 0,04%.
“Untuk menghasilkan garam untuk kebutuhan industri butuh proses panjang, mulai dari kontrol kolam penguapan, mesti ada meja garam, ketiga mesti ada proses pencucian garam. Ini berbeda dengan tradisional, tidak ada pencucian garam, panen setiap 6 minggu sekali sedangkan di malaka itu 1 tahun sekali. Dari segi kualitas dan metode sangat berbeda”, tutupnya.