Menurut Sri Mulyani, pengenaan bea meterai ini adalah pajak atas dokumen atau keperdataan, tapi bukan pajak atas transaksi.
Sebab, yang muncul akhir-akhir ini, terutama untuk saham seolah-olah setiap transaksi akan dikenakan bea meterai, padahal bukan.
Namun, investor tetap bisa kena bea meterai Rp 10.000 jika melakukan transaksi jual beli saham dalam setiap harinya.
"Ini bukan merupakan pajak dari transaksi, tapi adalah pajak atas dokumennya. Di dalam bursa saham, bea materai ini dikenakan atas trade confirmation atau TC atau dalam hal ini konfirmasi perdagangan yang merupakan dokumen elektronik yang diterbitkan secara periodik yaitu harian atas keseluruhan transaksi jual beli di dalam periode tersebut," kata Sri Mulyani.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan menyebut penyesuaian kebijakan tarif baru mengenai bea meterai dilakukan pemerintah untuk mengganti regulasi yang selama 34 tahun yang belum pernah mengalami perubahan.
Dengan kata lain, tarif bea meterai belum pernah mengalami kenaikan sejak era Orde Baru atau tepatnya sejak tahun 1985.
Baca juga: Sri Mulyani akan Luncurkan Meterai Baru Rp 10.000 Awal Pekan Depan
Kementerian Keuangan menyebut, adanya kenaikan bea meterai jadi Rp 10.000 diperkirakan akan menambah potensi penerimaan negara menjadi Rp 11 triliun di tahun 2021.
Adapun, penerimaan negara dari bea meterai di tahun 2019, dengan adanya tarif Rp 3.000 dan Rp 6.000 per lembar meterai penerimaan negara hanya mencapai Rp 5 triliun.
Pengenaan bea meterai Rp 10.000 di tahun depan, bukan hanya berlaku pada dokumen fisik dalam kertas, tapi juga akan berlaku untuk segala dokumen digital dan transaksi elektronik.
Selama ini pengenaan bea materai yang selama ini hanya berlaku pada dokumen berbentuk kertas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
Berikut ini beberapa dokumen yang dikenakan bea meterai Rp 10.000:
1. Surat perjanjian, surat keterangan/pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya.
2. Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya.
3. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya.
4. Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun seperti saham, cek, bilyet giro, obligasi, sukuk, warrant, option, deposito, dan sejenisnya.
5. Dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang. (Tribun Network/van/kps/wly)