Lantas, seperti apa sejarah Imlek di Indonesia?
Imlek di masa Orde Baru
Jika menilik sejarah Imlek di Indonesia, pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, perayaan Imlek dan berbagai tradisi Cina dibatasi di Indonesia.
Dirangkum dari Harian Kompas (5/2/2000), pemerintah melarang dilakukannya secara terbuka segala bentuk kegiatan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 14 Tahun 1967.
Inpres No 14 Tahun 1967 itu membuat warga masyarakat keturunan Tionghoa tak lagi bisa merayakan ritual-ritual Konghucu, kepercayaan asli mereka.
Termasuk merayakan Imlek dengan menggelar pertunjukkan barongsai dan mengarak patung dewa-dewa alias toapekong di tempat-tempat umum. Huruf-huruf atau lagu Mandarin tidak boleh diputar di radio.
Koran-koran beraksara Cina diberangus. Sekolah-sekolah Cina yang mengajarkan bahasa dan kebudayaan Cina pun ditutup.
Pemerintah Orde Baru (Orba) waktu itu meragukan nasionalisme keturunan Tionghoa.
Meski umumnya sudah turun temurun tinggal di bumi Nusantara, mereka dicurigai secara politis masih berorientasi ke Republik Rakyat Cina (RRC).
RRC, khususnya Partai Komunis Cina (PKC), dituding telah ikut membesarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan punya andil dalam gerakan pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965.
Sejak itu ritual-ritual dan perayaan-perayaan yang berhubungan dengan agama, kepercayaan, dan tradisi asli Cina dilakukan secara tertutup. Ritual Imlek, misalnya, dilakukan komunitas Tionghoa hanya dalam lingkungan kelenteng.
Sikap diskriminatif yang mereka terima baik secara politik maupun sosial, membuat sebagian warga keturunan Tionghoa sampai merasa perlu menyamarkan identitas etnik dan kebudayaan mereka hanya agar bisa tetap bertahan di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Antara lain dengan mengganti nama Cina mereka dengan nama yang lebih Indonesiawi.
Dibebaskan oleh Gus Dur