Salah satu sumber masalahnya adalah berbagai pembatasan sosial akibat pandemi.
"Transformasi ekonomi UMKM ke digital saja tidak cukup. Perlu lebih sistemik dengan mengintegrasikan produk produk UMKM sebagai rantai pasok kebutuhan logistik nasional dan penopang industri," urainya.
Lebih jauh lagi, Said menjelaskan target tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan dalam RPJMN 2020-2024 sangat tinggi.
Akibat pandemi, tingkat kemiskinan dan pengangguran melonjak menjadi 10,19% dari angka tahun lalu 9,78 %, sementara tingkat pengangguran 7,07 %.
Padahal berbagai program perlindungan sosial digelontorkan selama ini.
Bahkan anggaran yang dikucurkan lebih besar lagi pada tahun lalu yang menyerap anggaran lebih dari Rp 220,39 triliun.
Sayangnya, tidak cukup maksimal meredam meningkatnya kemiskinan akibat pandemi.
"Saya menyarankan tingkat kemiskinan sebagaimana yang ditetapkan dalam RPJMN 2020-2024 dikoreksi, dimana pada pada baseline kita tahun 2020 sebesar 10,19 %, maka target penurunannya 1 % setiap tahunnya hingga tahun 2024," tuturnya.
Untuk menyasar target ini, setidaknya ada empat pilar utama yang harus dikerjakan;
Pertama: menyempurnakan program perlindungan sosial agar lebih tepat waktu, tepat sasaran yakni kepada mereka yang pada level kemiskinan paling parah.
"Untuk itu kebutuhan pemutakhiran data orang miskin dan mekanisme penyaluran yang efektif menjadi kebutuhan yang sangat mutlak," ucapnya.
Kedua: sebanyak 70% angkatan kerja lulusan SD dan SMP. Selama ini mereka, bergerak pada sektor informal (Usaha Mikro, buruh pertanian, perkebunan, dll).
Untuk itu, pemerintah perlu merevitalisasi sektor pertanian, yang saat ini menopang 39 juta angkatan kerja.
"Bertahun tahun sektor ini tidak digarap dengan serius. Sehingga pertumbuhan sektor pertanian tidak sebaik sektor sektor lainnya seperti properti, telekomunikasi, maupun jasa,” katanya.