TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, MH Said Abdullah meminta pemerintah segera bertransformasi secara ekonomi dengan mempersiapkan sektor andalan baru selain sektor komoditas sebagai bantalan pertumbuhan ekonomi.
Apalagi pemerintah terikat dengan ketentuan Undang Undang No 2 tahun 2020 tentang Perppu No 1 tahun 2020 yang mengatur batas waktu besaran defisit APBN lebih dari 3% Produk Domestik Bruto (PDB) hanya berlangsung pada tahun 2022.
Setelah itu, pemerintah harus kembali ke makanisme defisit APBN tidak boleh melebihi 3% PDB.
Untuk itu, pemerintah harus mampu mendorong nilai tambah atas hasil komoditas dalam lanskap perekonomian nasional.
Baca juga: Jurus Sri Mulyani Sehatkan APBN di 2021
Kebutuhan menyiapkan peta jalan (road map) yang lebih aktual dan akurat industrialisasi di Indonesia pada jangka panjang, terutama terhadap industri industri yang menopang hasil komoditas Indonesia adalah jalan mendapatkan manfaat maksimal atas hasil komoditas .
"Dunia telah berubah dengan cepat, inovasi teknologi telah sedemikian cepat pula. Tidak selamanya kita bertumpu pada hasil hasil komoditas sebagai penopang pertumbuhan ekonomi seperti masa lalu," ujar Said di Jakarta, Kamis (4/3/2021).
Karena itu, reorientasi penopang pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022-2024 harus dilakukan.
Caranya, dengan menyiapkan exit strategy merambah sektor baru yang padat modal, teknologi sekaligus tenaga kerja untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
Politisi Senior PDIP ini mengaku pemulihan ekonomi nasional harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat industri dalam negeri.
Selain memaksimalkan hilirisasi produk komoditas, pemerintah perlu memilih industri unggulan sebagai topangan kedepan.
Sebab tidak semua sekaligus bisa dikerjakan pemerintah.
“Setidaknya kita mampu mengurangi berbagai komoditas impor yang memberi kontribusi besar pada defisit transaksi berjalanan nasional,” ujarnya.
Pada RPJMN 2020-2024 proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2022 ditargetkan sebesar 5,4 % (rendah), 5,7 % (sedang), dan 5,9 % (tinggi).
Sedangkan pada tahun 2023 target pertumbuhan ekonomi 5,5 % (rendah), 5,9 % (sedang) dan 6,2 % (tinggi).
Sementara target pertumbuhan ekonomi pada tahun 2024 sebesar 5,5 % (rendah), 6,1 % (sedang) dan 6,5 % (tinggi).
"Saya kira, asumsi pertumbuhan ekonomi pada rentang 2022-2024 yang dibuat sebelum pandemi Covid-19 ini masih cukup relevan untuk dijadikan acuan, terutama pada range rendah," jelasnya.
Dengan asumsi masih mengandalkan pada tumpuan sektor komoditas.
Terlebih adanya tren penggunaan nikel sebagai komoditas bagi penopang industri otomotif dan elektronik dunia dan program konversi biodiesel yang di topang oleh sawit.
"Jadi, perlu ada proses hilirisasi dari produk produk komoditas, sehingga makin menopang industri pengolahan," terangnya.
Ketua DPP PDIP Bidang Perekonomian ini menjelaskan, dengan asumsi pertumbuhan seperti itu maka investasi harus tumbuh 7,3-80 % tiap tahunya dalam rentang 2020-2024.
Saat ini, posisi Indonesia pada kisaran 5,6 %.
"Share industri pengolahan yang lebih besar 20-21,2 % dalam rentang 2020-2024, dimana proporsi share industri pengolahan ekspor non migas lebih besar daripada migas," jelasnya.
Dari sisi produksi lanjutnya, kontribusi terhadap PDB Nasional masih di topang oleh sektor UMKM (60,3 %) pada tahun 2019.
Namun pada tahun 2020, turun drastis hanya 37,3%.
"Bila kita mendorong target pertumbuhan ekonomi tinggi pada tahun tahun mendatang maka pemulihan sektor UMKM sekaligus transformasi ekonominya menjadi kebutuhan yang sangat mutlak," imbuhnya.
Sebenarnya terang Said, intervensi Banggar DPRRI untuk menolong sektor UMKM akibat dampak pandemi sudah ada.
Hal ini tercermin dari alokasi anggaran program PEN 2020 untuk UMKM sebesar Rp 123,46 triliun.
Namun tampaknya kurang maksimal.
Salah satu sumber masalahnya adalah berbagai pembatasan sosial akibat pandemi.
"Transformasi ekonomi UMKM ke digital saja tidak cukup. Perlu lebih sistemik dengan mengintegrasikan produk produk UMKM sebagai rantai pasok kebutuhan logistik nasional dan penopang industri," urainya.
Lebih jauh lagi, Said menjelaskan target tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan dalam RPJMN 2020-2024 sangat tinggi.
Akibat pandemi, tingkat kemiskinan dan pengangguran melonjak menjadi 10,19% dari angka tahun lalu 9,78 %, sementara tingkat pengangguran 7,07 %.
Padahal berbagai program perlindungan sosial digelontorkan selama ini.
Bahkan anggaran yang dikucurkan lebih besar lagi pada tahun lalu yang menyerap anggaran lebih dari Rp 220,39 triliun.
Sayangnya, tidak cukup maksimal meredam meningkatnya kemiskinan akibat pandemi.
"Saya menyarankan tingkat kemiskinan sebagaimana yang ditetapkan dalam RPJMN 2020-2024 dikoreksi, dimana pada pada baseline kita tahun 2020 sebesar 10,19 %, maka target penurunannya 1 % setiap tahunnya hingga tahun 2024," tuturnya.
Untuk menyasar target ini, setidaknya ada empat pilar utama yang harus dikerjakan;
Pertama: menyempurnakan program perlindungan sosial agar lebih tepat waktu, tepat sasaran yakni kepada mereka yang pada level kemiskinan paling parah.
"Untuk itu kebutuhan pemutakhiran data orang miskin dan mekanisme penyaluran yang efektif menjadi kebutuhan yang sangat mutlak," ucapnya.
Kedua: sebanyak 70% angkatan kerja lulusan SD dan SMP. Selama ini mereka, bergerak pada sektor informal (Usaha Mikro, buruh pertanian, perkebunan, dll).
Untuk itu, pemerintah perlu merevitalisasi sektor pertanian, yang saat ini menopang 39 juta angkatan kerja.
"Bertahun tahun sektor ini tidak digarap dengan serius. Sehingga pertumbuhan sektor pertanian tidak sebaik sektor sektor lainnya seperti properti, telekomunikasi, maupun jasa,” katanya.
Ketiga, memperbanyak pengembangan sekolah kejuruan berdasarkan potensi daerahnya; kelautan, pariwisata, pertanian, mesin, kelistrikan, bangunan, dll untuk menampung angkatan kerja yang semakin membesar.
"Bila kita tidak mempersiapkan tenaga kerja terampil maka akan terjadi ledakan pengangguran," imbuhnya.
Keempat; memperbanyak skema padat karya dalam berbagai program pembangunan, terutama program infrastruktur di semua sektor, yang menjadi orientasi pemerintah selama ini.
“Skema padat karya ini akan menampung angkatan kerja kita yang menganggur. Hal serupa berlaku kepada program program pemerintah daerah.," tuturnya.
Sementara, untuk mengejar peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai modal sosial mentransformasikan angkatan kerja lebih skillfull maka hingga tahun 2024 pemerintah harus menargetkan ketersediaan dan pelayanan dasar rakyat lebih mudah terjangkau seperti; pendidikan, kesehatan, perumahan, pelayanan sosial dan keterjangkauan sembilan harga pangan pokok rakyat.
Bila ini dipersiapkan dengan baik maka sangat mungkin IPM pada tahun 2024 pada level 75,54 dari posisi saat ini di level 71,94.
“Dengan bekal IPM yang baik, daya saing tenaga kerja kita tentu akan lebih baik sebagai modal pelaksana pembangunan,” urainya.
Vaksinasi
Said menjelaskan upaya mengakhiri pandemic covid19 menjadi pijakan penting bagi langkah pembalikan ekonomi yang saat ini masih terkontraksi, meskipun menuju ke arah yang lebih baik.
Karenanya, program vaksinasi harus lebih ditingkatkan daya jangkaunya.
Untuk itu, pemerintah perlu menambah tenaga vaksinasi sebanyak mungkin termasuk sarpras pendukungnya.
Apalagi, sejak dicanangkan pertengahan Januari 2020 hingga per 1 Maret penerima dosis pertama vaksinasi berjumlah 1.720.523 penduduk penerima dosis pertama vaksinasi.
Padahal targetnya 181,5 juta penduduk.
"Kalau kita mau menuntaskan vaksinasi dalam setahun, maka sebulan harus mampu menjangkau 15.125.000 penduduk," terangnya.
Dengan melihat realisasi yang ada, daya jangkau bulanan dalam menjalankan vaksinasi sangat kurang.
“Kita harus mengejar target maksimal vaksinasi sebagai usaha menjemput momentum pemulihan ekonomi. Sebab keberhasilan vaksinasi dengan dukungan anggaran Rp 104 triliun ini menjadi pertaruhan ekonomi kita kedepan," pungkasnya.