TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pihak menyarankan perlunya keterlibatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam proses pengalihan frekuensi seperti yang diatur dalam PP Postelsiar yang baru dikeluarkan pemerintah akhir Februari lalu.
Dalam pasal 55 PP nomor 46 Tahun 2021, pemegang izin penggunaan spektrum frekuensi radio dapat melakukan pengalihan hak penggunaan frekuensi radio kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
Baca juga: Penguasaan Frekuensi bisa Jadi Bahan Perhitungan KPPU
Pengalihan itu harus mendapatkan izin dari Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo).
Pengamat telekomunikasi Kamilov Sagala, mengatakan pengalihan frekuensi itu bisa masuk menjadi ranah KPPU karena bisa terkait dengan persaingan usaha.
"Frekuensi itu kan termasuk aset. Perusahaan tanpa aset seperti mobil tanpa bensin, tidak bisa bergerak. Jadi KPPU perlu masuk bila ada rencana pengalihan aset atau frekuensi," ujar kamolov, dalam webinar yang diselengarakan Indotelko, Rabu (24/3/2021).
Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, menyarankan sebaiknya ada lembaga lain yang perlu ikut dalam memberikan pertimbangan atau evaluasi atas pengajuan izin pengalihan frekuensi itu.
"Bila dulu ada BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia), sekarang bisa melalui KPPU," kata Heru.
Saat ini yang berkembang adalah pengalihan frekuensi bisa dilakukan dalam kerangka merger. Tapi bisa juga sebenarnya pengalihan frekuensi itu dalam model lain seperti kerja sama operasi.
Komisioner KPPU Guntur Saragih mengatakan bahwa pihaknya terbentur pada ketentuan yang ada untuk memberikan pertimbangan. Sebab KPPU hanya memperoleh pemberitahuan bila rencana itu sudah terlaksana.
"Kami ini sifatnya post notifikasi. Bila sudah ada kesepakatan, mereka melapor kepada kami, baru kami bisa bergerak memberikan pendapat apa menolak, menerima dengan catatan atau remedys atau memang bisa diterima karena tidak melanggar prinsip persaingan usaha," ujar Guntur.
Yang pasti, lanjutnya, KPPU akan berada di area kepentingan publik. KPPU tidak berada dalam posisi mempertimbangkan kepentingan atau keberlangsungan perusahaan.
Saat ini yang sedang terjadi adalah rencana merger dua operator telekomunikasi yakni PT Indosat Ooredoo Tbk dengan Hutchinson 3 Indonesia (Tri). Kedua belah pihak telah menandatangani kesepakatan untuk menfinalkan rencana konsolidasi itu pada akhir April 2021.
Dalam kaitan merger itulah, masalah frekuensi menjadi salah satu sorotan. Dengan hadirnya PP No 46/2021 tentang Postelsiar ini diperkirakan konsolidasi antar dua operator itu bakal diuntungkan. Sebab frekuensi yang mereka miliki dapat digabungkan sehingga menjadikan kepemilikan aset perusahaan gabungan itu bertambah besar.
Dalam kajian yang dikeluarkan BRI Danareksa sekuritas, Tri menjadi pihak yang lebih diuntungkan dengan adanya penggabungan ini. Sebab mereka bisa memiliki frekuensi yang lebih luas untuk melayani pelanggannya. Adapun gabungan frekuensi Indosat dan Tri akan menyaingi besaran frekuensi yang dimiliki Telkomsel, meskipun jumlah pelanggan yang mereka miliki setengah dari pelanggan telkomsel.
KPPU dalam pernyataan sebelumnya pernah mengatakan bahwa pihaknya bisa memasukan penguasaan frekuensi ini sebagai bahan pertimbangan dalam evaluasi persaingan usaha.
Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institute Teknologi Bandung (ITB) M Ridwan Effendi mengatakan bahwa kehadiran PP Postelsiar yang baru tidak serta menyebabkan terjadinya kemudahan dalam konsolidasi operator telekomunikasi. Sebab kontrol tetap berada di tangan pemerintah.