"Kadar airnya jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan BPS sebesar 21% Tapi mereka mengaku produksi tahun 2021 meningkat 2,3%,”ujar Yeka terkait temuan Ombudsman terkait penurunan harga gabah di Jakarta, Kamis (8/4/2021)
Berdasarkan temuan lapangan ini, Yeka menambahakan total susut paska panen di lima kabupaten sentra beras di Jawa Barat mencapai 27,16% akibat tingginya kadar air dan kadar hampa gabah.
Dalam kondisi seperti ini, kualitas gabah dipastikan menurun, butir hampa semakin banyak, hingga mencapai 18%.
Hal ini berdampak terhadap tingginya susut dari gabah kering panen menjadi gabah kering giling.
Ombudsman menghitung , meski petani hanya memperoleh harga tebus GKP sebesar Rp 3.888 per kg , namun ketika dikonversi menjadi GKG setara Rp 5.338 per kg.
”Nilai ini sudah melebihi HPP yang ditetapkan Kemendag. Apalagi jika ditambahkan ongkos angkut maka harga GKG dan harga berasnya pun akan meningkat, meski tidak dalam rentang besar,” ujarnya.
Artinya, fenomena yang lebih tepat menggambarkan keadaan ini adalah bukan karena harga harga gabah yang turun. Namun mutu gabah yang turun.
Karena itu dia menilai tidak ada fakta penurunan harga GKP ditingkat petani sebagai respon psikis dari rencana pemerintah mengimpor beras sebesar 1 juta ton.
Ombudsman RI juga mencatat kejadian penurunan mutu gabah di musim panen raya merupakan siklus yang terus berulang sepanjang tahun. Menurutnya belum ada upaya tertintegrasi yang solutif.
Pasalnya, sepanjang 2017-2020, Kementerian Pertanian telah menganggarkan Rp 661,7 miliar untuk program untuk pengadaan mesin pengering /dryer gabah.
“Perlu dievaluasi apakah besaran dukungan APBN untuk pengadaan mesin pengering gabah ini memenuhi unsur pelayanan publik dalam arti petani sebagai sasaran apakah mendapatkan layanan dengan adanya bantuan ini?" ujarnya.
"Jika memang program ini memberikan layanan yang baik untuk petani, maka program ini perlu ditingkatkan di masa yang akan datang,”pungkasnya.