News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Utang Pemerintah Sudah Berlebihan, Politisi Gerindra Resepkan 5 Arah Kebijakan Baru

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI, Kamrussamad menilai saat ini posisi ULN Pemerintah sudah berada pada level over borrowing.

Pandangan ini didasarkan atas tiga indikator yaitu posisi DSR (Debt Service Ratio), merupakan rasio pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor yang mencapai 27,86%, sementara posisi aman menurutnya berada di angka 20%.

Kemudian posisi DGDP (Debt to GDP ratio), merupakan rasio antara total ULN terhadap PDB Indonesia yang mencapai 39,7%, posisi ini nyaris menyentuh batas aman di angka 40%.

Selain itu posisi DER (Debt Export Ratio) yang merupakan rasio totang ULN dengan penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 200%, sementara posisi Indonesia berada diangka 215.4% pada kuartal IV-2020.

“Dua indikator menunjukkan bahwa Indonesia mengalami over borrowing (berlebihan), ketika dilihat dari indikator DSR dan DER," kata Kamrussamad dalam keterangannya, Senin (19/4/2021).

Baca juga: Utang Luar Negeri Indonesia Naik 4 Persen Pada Februari 2021

Jika melihat indikator DGDP, kata politisi Partai Gerindra ini nilainya hampir melebihi batas aman sehingga diperlukan manajemen utang dengan hati-hati dan terstruktur.

Untuk itu, dalam mengelola ULN, Kamrussamad menyarankan Pemerintah agar dapat dengan mendapatkan sumber pendanaan dengan biaya yang murah, meminimalkan risiko terkait portofolio utang, dan mendukung pengembangan pasar.

Baca juga: Fadli Zon Kritik Pemerintah Ambil Alih TMII: Jangan Sampai Dijual untuk Bayar Utang

Anggota DPR dari Daerah Pemilihan DKI Jakarta ini meminta pemerintah menjalankan pedoman arah kebijakan ULN dengan 5 cara.

Pertama, pengurangan pinjaman valas secara gradual dan terencana, fokus pada pinjaman domestik dengan jatuh tempo jangka menengah dan panjang, penerbitan SPN (Treasury bills dengan jatuh tempo 12 bulan) hanya untuk manajemen kas dan tidak untuk menutup defisit atau refinancing utang yang masih ada.

Kemudian fokus pada suku bunga tetap untuk pinjaman baru dan obligasi internasional hanya diterbitkan untuk membiayai kewajiban dalam valas, memperkuat cadangan devisa, dan menghindari crowding out pasar obligasi domestik.

“Utang merupakan konsekuensi belanja negara yang ekspansif. Dengan adanya pandemi Covid-19 maka pemerintah meningkatkan pengeluarannya untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional baik dari segi sosial, ekonomi maupun kesehatan," katanya.

Selain itu, kata dia dengan kondisi yang dialami saat ini, pemerintah harus memanfaatkan momentum ini untuk dapat kembali bersaing dan menghindari opportunity loss melalui strategi-strategi kebijakan yang akan dilaksanakan.

Lebih jauh dikatakan, melalui perdebatan yang muncul akibat adu argument terkait perbandingan besaran utang negara, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi efektif yang dapat ditempuh agar ekonomi dapat lekas pulih kembali, bukan malah “tawuran” argumen yang dapat memicu hambatnya pemulihan ekonomi.  

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini