Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie menilai Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCHT) tidak bisa dianggap sebagai denda untuk mendanai kesehatan akibat dari dampak kesehatan perokok.
Menurut Gugun, konsep cukai sangat berbeda dengan pajak, apalagi dalam Undang-Undang Cukai, sudah ditentukan penggunaan dana cukai.
"Penggunaannya sifatnya limitatif.
Tidak boleh ditafsirkan untuk dana BPJS, dana kesehatan, itu namanya perampokan dana rokok," kata Gugun, Jumat (30/4/2021).
Ia mengatakan, dalam Undang-undang Cukai Nomor 36 Tahun 2007 disebutkan, alokasi pembagian DBHCHT sudah diatur dengan jelas, yakni 50 persen dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian, industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi cukai, dan sebagainya.
Baca juga: Modus Penipuan Perdagangan Black Market Marak, Ini Tanggapan Bea Cukai
Kesehatan, kata Gugun, termasuk di dalam pembinaan lingkungan sosial, dan 50 persen lainnya dimanfaatkan untuk pembangunan daerah penerima DBHCHT.
Merujuk Pasal 66A (1) UU 36/2007, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2 persen yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Pada Ayat (3) dinyatakan bahwa Gubernur mengelola dan menggunakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau dan mengatur pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau kepada bupati/walikota di daerahnya masing-masing berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil tembakaunya.
"Apabila dari dulu dimaksimalkan, BPJS Kesehatan bisa lebih ringan bebannya. Aturan cukai rokok sendiri memiliki perjalanan sejarah yang panjang, seiring berkembangnya industri rokok di negeri ini," katanya.
Baca juga: Sinergitas KSOP Gresik dan Bea Cukai Gresik Tuntaskan Kasus Pelanggaran Kepabeanan Kapal
Gugun menyebut, selama ini kesalahan fatal politik hukum tentang dana cukai rokok adalah terlalu membuka open interpretative atau penafsiran yang terlalu liar, terutama oleh rezim kesehatan.
"Karena itu, pemerintah harus berani mengambil kebijakan yang adil tentang penggunaan dana cukai," tuturnya.