Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah pemerintah untuk menagih utang dari anak usaha Lapindo Brantas Inc, PT Minarak Lapindo, dinilai wajar karena sudah banyak mengeluarkan uang menanggulangi bencana lumpur Lapindo pada 2006.
"Pemerintah sudah keluar uang lumayan banyak, menurut saya cukup fair kalau pemerintah menagih itu ke Lapindo," ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Kamis (6/5/2021).
Menurutnya, jika masalah Lapindo tidak kunjung dibayarkan secara lunas ke pemerintah, maka negara bisa dirugikan dan hal ini tidak boleh terjadi.
Baca juga: Kementerian Keuangan Tetap Tagih Utang Lapindo Rp 1,91 Triliun
"Kita juga tidak mau seperti itu (tidak bayar atau ditutup buku) , pemerintah sebaiknya kencang (menagih) sampai kapan pun," katanya.
Jika nanti pemerintah terpaksa mengambil alih aset Lapindo, kata Tauhid, pemerintah harus jeli melihat aset-asetnya, yang bisa dianggap berharga.
"Aset ini kan yang saya kira nilai value nya cukup tinggi, misal lahan tanah dan sebagainya. Kalau masih punya nilai prospek kedepan bagus dan di verifikasi, dinilai oleh appraisal, mungkin patut diperhitungkan," paparnya.
Diketahui, bencana Lumpur Lapindo terjadi pada 29 Mei 2006, dan akhirnya perusahaan konglomerasi Bakrie itu memperoleh pinjaman Rp 781,68 miliar, namun utang yang ditarik dari pemerintah (dana talangan) sebesar Rp 773,8 miliar.
Hingga saat ini, Lapindo Brantas Inc belum juga melunasi utangnya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya harus mengembalikan uang negara sebesar Rp 1,91 triliun.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rionald Silaban menegaskan bahwa pemerintah masih terus berupaya menagih.
"Lapindo masih kita teliti pada dasarnya apa yang ada dicatatan pemerintah itu yang akan kita tagihkan," kata Rionald dalam Bincang Bareng DJKN secara virtual, Jumat (30/4/2021).