TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada tahun 2021 industri baja ringan nasional sudah mengalami kemajuan setelah melewati masa pandemi 2020.
Direktur Eksekutif Research Oriented Development Analysis (RODA) Institut Ahmad Rijal Ilyas mengatakan, dari data yang ada di tahun 2019 kebutuhan total untuk baja ringan BjLAS (Baja Lapis Alumunium dan Seng) pada tahun 2019 adalah 1,6 juta ton.
Ini bersumber dari impor sebesar 890 ribu ton dan industri dalam negeri 725ribu ton.
"Sementara di tahun 2020 total kebutuhan BjLAS diperkirakan menurun menjadi 1,1 juta ton yang bersumber dari import 460 ribu ton sedangkan industri dalam negeri hanya mampu mensuplay 718ribu ton," ucap Rijal di Jakarta, Senin (10/5/2021).
Sementara itu, lanjut, Rijal di tahun 2021 ini mulai ada trend positif industri baja ringan dengan adanya pemulihan ekonomi nasional, diperkirakan kebutuhan BjLAS di tahun ini 1,8 sampai 2 juta ton.
"Kondisi ini tentunya harus dibarengi dengan ketersediaan bahan baku baik yang bersumber dari industri dalam negeri ataupun import karena jelas tedapat kekurangan pasokan dari produsen BjJLAS lokal," imbuhnya.
Baca juga: Pengamat: Impor Baja Murah Ancam Industri Dalam Negeri
Rijal menjelaskan bahwasannya produsen BjLAS lokal baik secara history maupun fakta saat ini masih melakukan impor BjLAS sehingga makin mempertegas terjadinya defisit pasokan BjLAS di pasar Indonesia yang tidak dapat dipenuhi oleh produsen lokal.
"Sementara itu kondisi harga baja dunia saat ini yang mengalami kenaikan hingga 100 persen dibanding tahun sebelumnya dan berkuruangnya suplay baja internasional akibat adanya issue emisi kontrol yang bergulir di negeri china berdampak pada terbatasnya supply baja," ungkapnya.
Rijal berujar, kondisi tersebut akan semakin diperburuk karena diterapkannya kebijaksanaan pembatalan tax rebate untuk produk-produk baja oleh pemerintah China.
Di satu sisi pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan kebijakan Anti dumping disektor BjLAS yang tentunya semakin membebani industri baja ringan nasional serta masyarakat luas selaku pengguna produk.
"Harga Baja akan mengalami kenaikan berlipat jika kebijakan anti dumping diterapkan, harga prodak BjLAS akan mengalami kenaikan berkali lipat akibatnya membebani masyarakat pengguna prodak BjLAS secara luas," ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah harus hati-hati dalam mengambil kebijakan anti dumping.
"Jangan sampai dampak ekonomi akibat kenaikan harga dan kelangkaan bahan baku baja BjLAS menekan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang akhir-akhir ini mengalami trend positif," ujarnya.
Rijal menekanlan bahwa perkembangan import Baja BjLAS pada quartal peratama tahun 2021 mengalami penurunan sebesar 47 persen dibandingkan quartal pertama tahun 201.
"Sementara untuk tahun 2020 lantaran pandemi tidak bisa dijadikan patokan karena resesi ekonomi nasional yang minus. Terdapatnya peningkatan import Baja BjLAS diquartal satu tahun 2021 diakibatkan lantaran pengunduran jadwal dari importasi diquartal empat tahun 2020 dikarenakan terbatasnya ketersediaan kargo untuk melakukan importasi," jelas Ekonom yang juga Aktivis muda ini.
Usulan Anti Dumping Kadaluarsa
Lebih jauh Rijal menginformasikan bahwa pada saat ini jangka waktu 45 hari kerja untuk diputuskannya rekomendasi KADI di tingkat Kementerian Perdagangan telah cukup lama kadaluarsa.
Sehingga, secara hukum terdapat permasalahan legalitas putusan terhadap rekomendasi KADI terkait kebijakan anti dumping.
"Pelaku usaha saat ini sudah dapat merasakan efektifnya mekanisme impor baja termasuk BjJLAS yang dilakukan melalui sistem pengawasan yang ketat dengan mempertimbangkan supply dan demand, terbukti impor BjLAs selama ini sudah dapat terkendali dengan baik," cetus Rijal.
Penerapan BMAD sebaliknya akan meruntukan industri hilir pengguna BjLAS, terlebih sebagin besar produsen BjlAS lokal dengan struktur pasar yang oligopolistic terintegrasi secara vertikal, melaluinya produsen BjLAS lokal juga bersaing dengan produsen hilir lain diluar produsen BjLAS lokal.