Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerhati Nelayan, Richardus, menilai terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan di Wilayah Negara Republik Indonesia ibarat ungkapan 'Maju Kena Mundur Kena'.
Menurut dia, harapan muncul ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat beleid baru yang diharapkan bisa membuat nelayan tersenyum, tetapi nyatanya peraturan itu membuat mereka tambah resah dan gelisah.
Apalagi ditambah situasi pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir dua tahun, di mana membuat semua segi pendapatan potensial pada nelayan menyurut ekstrim.
"Harapan tinggal harapan bila mereka menengok berbagai kesulitan yang bakal dihadapi. Beralihnya profesi dari nelayan tangkap sekarang harus beralih menjadi pembudidaya. Itu kalau mereka masih mau “main” lobster, salah satu komoditi mahal di bidang kelautan," kata dia, dalam keterangannya, pada Jumat (23/7/2021).
Baca juga: KKP Minta Nelayan Perikanan Tidak Melaut Sementara di Kondisi Cuaca Ekstrem
Tak ada cerita lain. Peraturan tidak boleh ekspor Benih Bening Lobster (BBL) itu sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi, sehingga memaksa mereka untuk banting setir menjadi pembudidaya lobster, karena hanya itu yang sekarang diijinkan.
Akankah mereka dalam waktu seketika jadi pengusaha pembudidaya lobster yang kaya
raya, gemah ripah loh jinawi?
"Ternyata, harapan tinggal harapan. Senyum bungah di bibir mereka karena yakin bisa menghidupi anak-istri, langsung lenyap begitu mereka memperhatikan detail peraturan baru itu," kata dia.
Dia menjelaskan, nature nelayan yang tadinya melaut, tebar jala, tangkap dan jual di pasar sekarang tidak lagi bisa dilakukan. There is no easy money anymore. Mereka harus bersabar, minimal dua bulan agar BBL yang mereka rawat bisa berbobot 5 gram, untuk bisa dijual kepada pembeli.
Kening segera berkernyit. Untuk beli bibit, beli pakan, keramba, butuh modal yang tidak sedikit. Tahap yang mereka lakukan adalah tahap yang paling riskan karena tingkat kematian benih yang tinggi.
"Benih mati, mereka rugi. Benih tak dirawat dan diberi makan yang layak, mereka rugi. Rugi sama dengan tak dapat uang," ujarnya.
Belum lagi harus punya kesiapan cadangan dana untuk hidup sekeluarga selama minimal dua bulan, sebelum bisa memanen hasilnya. Nah, dilema inilah yang sekarang mereka hadapi. Mau jadi pembudidaya lobster ? Harus punya cukup modal, kalau tidak mati di tengah jalan.
Baca juga: Nilai Tukar Nelayan Masih Rendah, Menteri Trenggono Siapkan Langkah Strategis
Mereka pun menjerit. Meski setuju ekspor BBL dihentikan dan berniat melakukan pengembangan budidaya lobster dalam negeri namun mereka menuntut aturan lalu lintas BBL ukuran 5 gram pada Permen KP 17/2021 agar dikaji kembali.
Pasalnya ketika aturan ini berjalan, nelayan tangkap terutama di wilayah perairan sumber benih yang tidak ada pembudidaya lobster menjadi mati. Mereka harus membesarkan BBL hingga ukuran 5 gram baru mendapatkan penghasilan.