Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendukung kebijakan skema pembayaran local currency settlement (LCS) dalam transaksi perdagangan RI-China.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Shinta W Kamdani mengatakan, kebijakan tersebut sebenarnya telah diusulkan sejak lama oleh pelaku usaha kepada Bank Indonesia, sebagai salah satu alternatif mengurangi ketergantungan dan volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Ini kami sampaikan setelah pelaku usaha sangat kesulitan akibat lonjakan nilai tukar mata uang rupiah - dolar AS yang sangat tinggi di 2018, karena dampak trade war Amerika - China," kata Shinta saat dihubungi, Jumat (23/7/2021).
Baca juga: Transaksi Dagang RI-China Bakal Pakai Rupiah dan Yuan, Hubungan Dagang dengan AS Bagaimana?
Menurutnya, mata uang China merupakan mata uang yang memiliki tingkat stabilitas tinggi di dunia, karena bank sentral China yakni People's Bank of China (PBoC) memiliki kebijakan ketat dalam mengontrol volatilitas nilai tukar yuan di pasar.
Oleh sebab itu, kata Shinta, terdapat tiga keuntungan jika kebijakan LCS antara Indonesia - China segera direalisasikan.
Baca juga: Selamat Tinggal Dolar AS, Indonesia Pakai Yuan agar Gejolak Rupiah Bisa Diturunkan
Pertama, memberikan manfaat positif bagi pelaku usaha, khususnya importir dan eksportir Indonesia karena tidak perlu khawatir terhadap risiko lonjakan atau penurunan nilai tukar yang drastis dalam periode yang singkat.
"Jadi risiko likuiditas usaha, dan risiko penurunan daya saing perdagangan karena perubahan nilai tukar bisa lebih dijaga," tuturnya.
Keuntungan kedua yaitu dapat mengurangi biaya transaksi valas secara signifikan, karena konversinya hanya satu kali atau langsung dan ini membuat beban transaksi pelaku usaha menjadi lebih ringan.
Baca juga: RI-China Makin Mesra, Transaksi Dagang Siap Pakai Rupiah-Yuan, Analis: Jaga Stabilitas Rupiah
"Meskipun perbedaan cost-nya hanya 1 persen, ini akan berdampak positif terhadap peningkatan daya saing produk ekspor nasional di pasar China. Namun, ini akan bersifat dua arah, sehingga produk impor China di Indonesia juga bisa menjadi lebih murah di pasar nasional," tuturnya.
Ketiga yaitu, kebijakan LCS berkontribusi positif menurunkan ketergantungan Indonesia terhadap dolar AS sebagai alat pembayaran transaksi internasional, dan berkontribusi menciptakan stabilitas ekonomi yang lebih tinggi bagi Indonesia secara keseluruhan.
Sekalipun hanya sekitar 5 persen sampai 10 persen daei total transaksi dagang dan investasi Indonesia - China yang diubah dari dolar AS ke yuan per tahun, Shinta menyakini dampak konversi ini akan tetap berkontribusi signifikan terhadap stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Ini karena volume transaksi Indonesia-China sangat besar, mencapai sekitar 70 miliar dolar AS per tahun, sehingga kebijakan LCS bisa menciptakan penurunan demand yang signifikan terhadap mata uang dolar AS di Indonesia," ujar Shinta.
Sementara terkait dampak negatif, Shinta menyebut seiring dengan tingginya tingkat exposure dan ketergantungan Indonesia terhadap mata uang yuan di masa mendatang.
Maka, ke depan Indonesia semakin tergantung terhadap penggunaan mata uang yuan, dan akhirnya akan semakin besar terhadap stabilitas ekonomi nasional.
"Semakin besar volume LCS Indonesia-China, efek negatifnya akan semakin mirip dengan dampak dolar AS terhadap rupiah saat ini," kata Shinta.
"Tapi sebetulnya dampak negatif ini sangat bisa kita kendalikan dengan pandai-pandai menjaga keseimbangan penerimaan devisa dan kebutuhan valas, serta dengan meningkatkan diversifikasi demand nasional terhadap mata uang asing untuk transaksi perdagangan," sambungnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia mengatakan Indonesia dan China akan menggunakan skema pembayaran local currency settlement (LCS) mulai kuartal III 2021.
Hal ini berarti penyelesaian transaksi bilateral antara Indonesia dan China akan menggunakan mata uang lokal kedua negara atau tidak lagi menggunakan dolar AS.
"Mungkin Juli atau kuartal III 2021 akan launching dan diterapkan (LCS Indonesia dan China)," kata Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan BI Donny Hutabarat.