News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Transaksi Dagang RI-China Bakal Pakai Rupiah dan Yuan, Hubungan Dagang dengan AS Bagaimana?

Penulis: Yanuar Riezqi Yovanda
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia rencananya mengganti dolar Amerika Serikat (AS) dengan yuan untuk transaksi perdagangan dengan China di Juli ini.

Pengamat keuangan Ariston Tjendra mengatakan, dengan langsung menggunakan yuan dalam bertransaksi membuat risiko dari gejolak rupiah terhadap dolar AS menurun.

"Transaksi mata uang masing-masing lebih pada kenyamanan dan mengurangi risiko nilai tukar dengan dolar AS," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews, Jumat (23/7/2021).

Baca juga: Juli Diprediksi Inflasi Tipis, Komoditas Cabai Rawit Jadi Penyumbang Utama

Ariston menjelaskan, dua negara tersebut pastinya mengambil keuntungan lebih dengan tidak ketergantungan dengan dolar AS lagi.

"Indonesia ataupun China tidak perlu lagi bergantung pada nilai tukar dolar AS yang fluktuatif. Jadi, lebih menguntungkan kedua negara," katanya.

Baca juga: Pengusaha Sambut Baik Rencana Transaksi Perdagangan RI dan China Tak Pakai Dolar AS Lagi

Kendati demikian, hubungan perdagangan dengan negara yang tetap menggunakan dolar, di antaranya AS sendiri dinilai tidak ada pengaruhnya.

"Ini tidak akan berpengaruh ke hubungan dagang dengan negara lainnya yang masih memakai dolar AS. Transaksi dagang akan berlangsung seperti biasa," pungkas Ariston.

Transaksi Dagang Siap Pakai Rupiah-Yuan, Analis: Jaga Stabilitas Rupiah

Hubungan Indonesia dan China terlihat kian mesra dengan segera berlakunya transaksi perdagangan kedua negara pakai yuan, tidak lagi dolar Amerika Serikat (AS).

Seperti diketahui, Bank Indonesia segera merampungkan aturan teknis dalam Local Currency Settlement (LCS) atau kerjasama transaksi perdagangan bilateral dengan China menggunakan mata uang lokal rupiah-yuan.

Kontrak kerjasama ini disalin dalam nota kesepahaman antara BI dan People's Bank of China (PBOC) pada Oktober 2020, yang target dilaksanakan pada Juli 2021.

Baca juga: Soal Asal-usul Virus Corona, China Tolak Rencana WHO Kembali Selidiki Teori Kebocoran Lab Wuhan

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, ada sisi keuntungan bagi negara yakni dapat memperkuat rupiah.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira (SS)

"Bagi negara keuntungannya lebih ke membantu stabilitas kurs rupiah jangka panjang," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews, Jumat (23/7/2021).

Baca juga: Militer AS Sulit Cegah Jika Pasukan China Tiba-tiba Duduki Taiwan

Menurut Bhima, dampak gejolak perekonomian di Negeri Paman Sam juga bisa diminimalisir risikonya ke Indonesia dengan tidak bergantung terhadap dolar AS lagi.

"Shock yang terjadi di AS misalnya bisa dimitigasi risikonya ke pasar keuangan Indonesia jika penggunaan dolar porsinya makin menyusut," katanya.

Sementara, kemungkinan ada negara yang menjauhi Indonesia dari sisi kerja sama perdagangan karena mengurangi porsi dolar AS dinilai tidak beralasan.

"Tidak akan kabur ya karena mereka akan lihat potensi perdagangan yang cukup besar dengan Indonesia, apalagi indonesia produsen komoditas yang dibutuhkan mitra dagang lain. Saya kira itu kekhawatiran tak berdasar," pungkas Bhima.

Baca juga: Sebentar Lagi Transaksi Bilateral Indonesia-China Tak Lagi Pakai Dollar AS

Diberitakan sebelumnya, Bank Indonesia mengatakan, selangkah lagi transaksi bilateral Indonesia dan China tak akan menggunakan mata uang dollar Amerika Serikat.

Hal tersebut dikatakan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo saat ditanya mengenai perkembangan kerjasama Local Currency Settlement (LCS) atau penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dengan China.

Menurut Perry, untuk persyaratan dan teknis terkait LCS sudah selesai.

Bahkan saat ini Bank Indonesia juga telah melakukan sosialisasi dengan Kementerian dan pelaku dunia usaha.

“Kami sampaikan kabar gembira, seluruh persyaratan maupun teknis operasional Local Currency Settlement antara Tiongkok dan Indonesia sudah selesai,” ucap Perry dalam konferensi secara daring, Kamis (22/7/2021).

Perry mengatakan, BI juga sudah melakukan sosialisasi LCS dengan kementerian/lembaga dan dunia usaha untuk mendukung ekspor.

"Peluang ekspor bagus, termasuk ekspor ke Tiongkok. Insya Allah LCS kontribusi dorong ekspor," ujar Perry.

Selain itu, Perry menjelaskan, implementasi LCS juga akan disatukan dengan program-program pendalaman pasar uang.

"Bank-bank yang ditunjuk untuk LCS ini tidak hanya memfasilitasi pembayaran perdagangan dan investasi menggunakan yuan dan rupiah. Tapi kami arahkan untuk melakukan implementasi berbagai program pendalaman pasar uang," tuturnya.

Ekspor Indonesia Naik

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor Indonesia pada bulan Juni mencapai 18,55 miliar dollar AS.

Secara bulanan, ekspor naik 9,52 persen dibanding bulan Mei 2021 dan secara tahunan naik 54,46 persen dibanding Juni 2020.

Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, nilai ekspor ini naik di seluruh sektor, baik ekspor migas maupun nonmigas.

Tercatat, ekspor nonmigas pada Juni 2021 mencapai 17,31 miliar dollar AS atau naik 8,45 persen (mtm) dan 51,35 persen (yoy).

"Peningkatan ekspor pada kelompok nonmigas terjadi pada besi dan baja naik 32,31 persen, kendaraan dan bagiannya naik 42,19 persen, bijih terak dan abu logam 35,36 persen, mesin dan perlengkapan elektrik 15,87 persen, dan alas kaki naik 33,01 persen," kata Margo dalam konferensi pers, Kamis (15/7/2021).

Aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok saat konferensi pers dan kunjungan media ke JICT, Tanjung Priok, Jakarta Utara

Secara kumulatif, dari Januari-Juni 2021, ekspor Indonesia mencapai 102,87 miliar dollar AS atau naik 34,78 persen (yoy).

Begitu pula dengan ekspor nonmigas yang mencapai 97,06 miliar dollar AS atau naik 34,06 persen.

"Ekspor nonmigas memberikan harapan yang baik. Mudah-mudahan tren meningkat di bulan berikutnya karena perkembangannya sangat bagus," tutur Margo.

Margo menuturkan, ekspor pada Juni ini naik di seluruh sektor. Di sektor pertanian, ekspor mencapai 0,32 miliar dollar AS, naik 33,04 persen (mtm) dan 15,19 persen (yoy).

Komoditas yang naik di sektor ini secara bulanan adalah tanaman obat, aromatik dan rempah-rempah, kopi, sarang burung, cengkeh dan biji kakao.

Sementara kinerja ekspor industri pengolahan mencapai 14,08 miliar dollar AS atau naik 7,34 persen (mtm) dan 45,91 persen (yoy).

Lalu ekspor di pertambangan mencapai 2,91 miliar dollar AS, naik 11,75 persen (mtm) dan 92,80 persen (yoy).

"Komoditas pertambangan yang meningkat secara bulanan adalah tembaga, batubara, lignit, bijih logam lainnya," beber Margo.

Berdasarkan negara tujuan, ekspor Indonesia dengan kenaikan terbesar pada bulan Juni adalah ke China, diikuti oleh Jepang, Korea Selatan, dan Filipina. Namun, ekspor ke India, Swiss, Pakistan, Australia, dan Afrika menurun.

Secara garis besar, pangsa ekspor nonmigas tidak berubah, yakni yang terbesar adalah ke China dengan pangsa 23,88 persen.

Pada Juni ini, Indonesia mengekspor barang senilai 4,13 miliar dollar AS. Komoditas utama yang diekspor adalah bahan bakar mineral, besi dan baja, serta lemak dan minyak hewan nabati.

Pangsa besar kedua adalah AS, dengan pangsa 12,34 persen. Komoditas utamanya adalah pakaian dan aksesories atau rajutan, karet dan barang dari karet, serta alas kaki.

"Kemudian yang ketiga adalah jepang 1,36 miliar dollar AS dengan pangsa 7,87 persen. Komoditas utama yang diekspor adalah bijih terak, abu logam, mesin dan perlengkapan elektrik, bahan bakar mineral dan lain-lain," pungkas Margo.(Kompas)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini