Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian PPN/Bappenas menyatakan, tantangan pertama menuju visi Indonesia 2045 adalah struktur ekonomi Indonesia selama puluhan tahun masih mengandalkan komoditas non olahan.
Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar mengatakan, sejak 1970 sampai krisis finansial Asia 1998, transformasi ekonomi terlihat berjalan cepat.
Baca juga: OJK Optimistis Ekonomi Tumbuh 7 Persen di Kuartal II 2021 Masih Bisa Tercapai
Hal tersebut mendorong pertumbuhan dan juga ada ekspansi sektor manufaktur hingga setelah 1998, transformasi berjalan lambat.
Baca juga: Pertumbuhan Kredit dan DPK, Dongkrak Keuntungan Bank DKI Jadi Rp 394 Miliar
"Tetapi setelah krisis finansial Asia (1998), justru transformasi ekonomi Indonesia melambat," ujarnya dalam webinar, Rabu (4/8/2021).
Bahkan, lanjut Amalia, tidak ada dorongan untuk masuk ke dalam pertumbuhan ekonomi sangat tinggi dan justru yang lebih berkembang adalah sektor jasa.
"Sektor jasa yang berkembang. Bukan sektor manufaktur," katanya.
"Indonesia masih punya PR (pekerjaan rumah) sebelum pandemi Covid-19 dan PR ini kemudian diperbesar dengan adanya krisis dari pandemi Covid-19. PR-PR lalu ini kita tuntaskan mengenai ekspor manufaktur Indonesia masih rendah, ekspor perkapita Indonesia juga masih lebih rendah, dan diversifikasi ekspor Indonesia juga masih rendah," pungkas Amalia.
Indonesia Bisa Tiru Korea dan Eropa untuk Jadi Negara Maju, Kembangkan Sektor Manufaktur Dulu
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, Indonesia bisa meniru Korea Selatan dan negara-negara Eropa untuk berakselerasi menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita minimal 12.535 dolar Amerika Serikat (AS).
Bhima menjelaskan, saat menapaki proses menuju negara maju, Korea dan sejumlah negara Eropa lebih dulu fokus mengembangkan industri manufaktur.
"Struktur ekonomi kita rapuh sebelum pandemi. Tidak ada seperti Korea dan Eropa yang jadi negara maju tanpa melalui fase industrialisasi," ujarnya dalam acara "Live Talkshow: Indonesia Turun Kelas Versi Bank Dunia" yang diselenggarakan Tribun Network, Rabu (21/7/2021).
Menurut dia, Korea Selatan khususnya bisa menjadi inspirasi pemerintah untuk mengeluarkan Indonesia dari peringkat negara berpendapatan menengah bawah.
Baca juga: Ekonom: Ambisi Indonesia Jadi Negara Maju di 2045 Bisa Terhambat karena Masih Andalkan Komoditas
"Perjalanan ekonomi Indonesia, bisa kita lihat dengan negara lain yakni Korea yang keluar dari negara miskin jadi negara maju di 1990-an. Sedangkan, industri manufaktur kita terus menurun di bawah 20 persen, anak muda ketergantungan sektor jasa digital, dan lainnya," kata Bhima.
Baca juga: Tak Tumbang saat Pandemi, Menlu Berharap Ekonomi Kreatif Bantu Pemulihan Ekonomi Global
Padahal, lanjutnya, industri manufaktur mampu serap tenaga kerja dalam jumlah besar setelah pertanian, sehingga memiliki peran dalam membangun ekonomi negara.
"Kita belum punya perusahaan besar seperti LG, Samsung, sudah euforia beralih ke digitalisasi. Penurunan peringkat ini kaitannya dengan pendapatan terkait tenaga kerja kita adalah secara total angkatan kerja 140 juta orang, kalau turun kelas yang terjadi kualitas pertumbuhan kita alami pelemahan," pungkas Bhima.
Sebelumnya, Bank Dunia dalam laporan “World Bank Country Classifications by Income Level: 2021-2022” menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan pendapatan per kapita hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia.
Pendapatan per kapita Indonesia turun dari 4.050 per dolar AS di 2019 menjadi 3.870 per dolar AS di 2020.