Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Fadhil Hasan menekankan posisi utang negara Republik Indonesia sudah melewati ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara.
Menurutnya, hal ini lantaran pemerintah Indonesia masih menganggarkan belanja negara dengan jumlah utang cukup besar.
Baca juga: Utang Indonesia Dinilai Masih Aman, Ekonom: Pemerintah Harus Percepat Pemulihan Ekonomi
"Saya kira dengan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 utang kita akan melonjak tajam sekitar 44 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)," tutur Fadhil dalam webinar publik, Jumat (20/8/2021).
Ia menerangkan jika ditambah utang-utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat ini utang RI sudah melampaui batas UU Keuangan Negara sebesar 60 persen.
Baca juga: Faisal Basri Ungkap Kenaikan Utang Pemerintah hingga Rp 8.000 Triliun di 2022
Fadhil mengatakan pandemi Covid-19 memang membuat hampir seluruh di seluruh dunia meningkatkan jumlah utang untuk menyelamatkan ekonomi.
"Di sisi lain peningkatan utang berakibat kerentanan sisi fiskal. Jadi harus tetap dikontrol bagaimana defisit bisa ditekan 5,7 persen menjadi 4,85 persen," tukasnya.
Dia menerangkan RAPBN dapat tercapai apabila memiliki tiga fungsi utama yaitu stabilisasi, alokasi, dan distribusi.
Baca juga: Faisal Basri Sebut Bunga Utang Pemerintah Sudah Kebanyakan
Perspektif lainya misalnya ekonomi politiknya di mana ke depan terdapat banyak kepentingan dan tarik menarik dalam konteks konsumen-produsen, kementerian-lembaga dan pusat-daerah.
"Pandemi Covid-19 menjadi sumber ketidakpastian utama. Itulah mengapa pentingnya alokasi anggaran yang memadai untuk menangani Covid-19 misalnya belanja sosial atau perlindungan sosial yang cukup besar," tukasnya.
Ekonom dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengungkapkan, jumlah utang pemerintah diproyeksikan mengalami kenaikan hingga sebesar Rp 8.000 triliun pada tahun depan.
"Dalam naskah itu tertera pada akhir tahun 2022 utang pemerintah pusat akan mencapai Rp 8.110 triliun. Ini berarti kenaikan luar biasa dibandingkan pada akhir pemerintahan SBY-JK sebesar Rp 2.610 triliun atau kenaikan lebih dari tiga kali lipat," ujar dia mengutip tulisan di blog pribadinya.
Dengan menggunakan asumsi implisit besaran PDB yang digunakan dalam RAPBN 2022, porsi utang terhadap produk domestik bruto (PDB) akan mencapai 45,3 persen pada tahun 2022.
Ia memperkiraan utang hingga 2022 bisa saja meleset ke atas kalau pertumbuhan ekonomi tak memenuhi target APBN 2021 dan 2022.
"Kemungkinan itu cukup besar karena selama pemerintahan Presiden Jokowi dinilai tak pernah sekalipun target pertumbuhan tercapai," imbuhnya.
Penanganan wabah yang lemah sedari awal juga berkontribusi memperburuk keadaan sehingga membuat ongkos kian mahal.
Itu tergambar dari strategi pemerintah dalam mengutak-atik istilah untuk menghindari lockdown.
"Kepemimpinan yang dan pengorganisasian yang buruk, berbagai penyangkalan oleh para petinggi pemerintahan, dan menuhankan ekonomi, kita kalah dengan skor 0-2 melawan Covid-19. Kesehatan kalah, ekonomi kalah," pungkasnya.