Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Transaksi perdagangan Indonesia dengan Jepang disebut telah mengalami lonjakan hampir 10 kali lipat.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menjelaskan, pertumbuhan transaksi dagang ini menurutnya efek dari berlakunya kerangka kerja sama Local Currency Settlement (LCS) dengan Negeri Sakura tersebut.
Baca juga: Tolak Negosiasi dengan China Soal LCS, Indonesia Kirim Catatan Diplomatik Kedua Ke PBB
“Jadi kalau kita melihat perkembangan LCS dengan Thailand, Malaysia, dan Jepang (terutama Jepang) itu terlihat sekali pergerakan yang sangat tinggi,” ujar Hariyadi dalam sosialisasi Local Currency Settlement bersama Bank Indonesia secara virtual, Jumat (17/9/2021).
Baca juga: ISI Ungkap PPnBM DTP Berpotensi Ciptakan Lapangan Kerja untuk 183.000 Orang
“Di jepang kalau tidak salah itu hampir lebih 10 kali,” sambungnya.
Local Currency Settlement (LCS) adalah penyelesaian transaksi bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara, dimana settlement transaksinya dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara masing-masing.
Dalam arti kata lain, transaksi bilateral kedua negara tersebut tidak lagi menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat (AS).
Bank Indonesia saat ini terus menggencarkan dan memperkuat kerangka kerja sama LCS dengan berbagai Bank Sentral negara mitra.
Yang terbaru adalah, Bank Indonesia dan People's Bank of China (PBC) resmi memulai implementasi kerja sama ini.
Baca juga: Karimun Wagon R Bakal Kena PPnBM 3 Persen, Suzuki Fokus Sasar Konsumen Fleet
Dengan adanya kerja sama dengan Bank Sentral China, Hariyadi mengharapkan transaksi perdagangan dengan Negeri Tirai Bambu tersebut dapat melonjak, seperti halnya kerja sama perdagangan Indonesia-Jepang.
Berdasarkan catatannya, perdagangan Indonesia dengan China tercatat lebih dari 60 miliar dolar AS, dan penggunaan mata uang yang digunakan dalam transaksi tersebut justru yang terbesar adalah menggunakan dolar AS.
Hariyadi juga menceritakan, Apindo sebenarnya sudah sejak lama membahas dengan BI, bahwa Indonesia harus mempunyai mata uang alternatif sebagai mendukung kegiatan ekspor-impor.
“Pada tiga tahun setelah kita bertemu dengan Pak Gubernur (Bank Indonesia) dan tim, akhirnya hari ini LCS dengan China sudah bisa ditandatangani mengikuti perjanjian serupa seperti Thailand, Malaysia, dan Jepang,” ujar Hariyadi.
“Mudah-mudahan dengan China juga demikian melonjak seperti dengan Jepang, sehingga risiko (nilai tukar mata uang khususnya dolar Amerika Serikat dapat ditekan) dan juga penggunaan mata uang kita lebih bervariasi,” pungkasnya.