TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Biaya pembangunan proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung terbukti memakan biaya yang sangat besar. Anggaran yang semula diproyeksikan ternyata membengkak luar biasa.
Pembengkakan biaya sebesar Rp 27 triliun ini salah satu dipicu oleh pandemi Covid-19 yang berdampak pada arus keuangan pemegang saham proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Staf khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk terganggu cash flow-nya karena pandemi Covid-19.
Pemegang saham lainnya, PT Kereta Api Indonesia (KAI) (Persero) juga terganggu karena pandemi Covid-19. Sebab, KAI mengalami penurunan penumpang.
Hal ini membuat mereka tidak bisa menyetor dananya sesuai dengan apa dipersiapkan ketika perencanaan tanpa memperhitungkan akan adanya pandemi Covid-19.
Kemudian, pandemi membuat program-program PT Jasa Marga (Persero) Tbk terhambat. Terlebih, kapasitas tol tidak sama dengan yang sebelumnya, sehingga membuat Jasa Marga sedikit terhambat untuk menyetor dana. Demikian juga dengan PT Perkebunan Nusantara VIII.
“Jadi hal-hal inilah yang membuat kondisi mau tidak mau supaya kereta api cepat tetap dapat berjalan dengan baik, kita harus minta pemerintah untuk ikut dalam memberikan pendanaan,” ujar Arya kepada wartawan, Minggu (10/10/2021).
Arya menyebut, pendanaan dari pemerintah untuk kereta api cepat wajar juga dilakukan di hampir semua negara.
Baca juga: Proyek Kereta Cepat Kembali Disorot: Jokowi Bolehkan Penggunaan APBN hingga Luhut Jadi Ketua Komite
Ia menyebut, progres pembangunan proyek yang telah mencapai hampir 80% perlu didukung dengan adanya suntikan dana dari pemerintah agar proyek tetap dapat berjalan dengan baik.
Baca juga: Triliunan Rupiah Dana APBN Dialokasikan untuk Nomboki Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
“Kita ingin supaya pembangunan tepat waktu,” ujar Arya.
Selain itu, ada sejumlah hal yang membuat anggaran bertambah. Yakni terkait perubahan desain yang lumrah terjadi karena kondisi geologis dan geografis yang berbeda dan berubah dari awalnya yang diperkirakan.
“Jangan dikatakan diperencanaannya sebelumnya bagaimana hitung-hitungannya. Hampir semua negara mengalami hal yang sama. Apalagi untuk yang pertama kali ya jadi pasti ada perubahan-perubahan,” terang Arya.
Lalu, faktor kenaikan harga tanah. Arya menyebut hal itu wajar terjadi di hampir semua pembangunan yang telah dilakukan dari sejak zaman dahulu.
“Jadi dua hal ini yang membuat anggaran jadi naik,” kata Arya.
Baca juga: Biaya Proyek Kereta Cepat Membengkak, Pembangunan Masih 80 Persen, Luhut Kini Pimpin Komite
Sebelumnya, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI (Persero) Salusra Wijaya mengatakan, kebutuhan investasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) membengkak atau mengalami cost overrun (kelebihan biaya) menjadi US$ 8 miliar atau setara Rp 114,24 triliun.
Biaya awal pembangunan KCJB adalah US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,5 triliun.
Dengan adanya perkiraan pembengkakan anggaran mencapai US$ 8 miliar, berarti terdapat kenaikan sekitar US$ 1,9 miliar dolar atau setara Rp 27,09 triliun.
Demokrat Minta Audit Menyeluruh
Terkait pembengkakan biaya ini, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) mereaksi keras. Dia meminta dilakukan audit dan review menyeluruh agar tidak ada penyalahgunaan investasi hingga bengkak.
"Fiskal negara tidak bisa terlalu banyak hanya untuk Penyertaan Modal Negara terus-menerus," kata Ibas dalam keterangannya, Senin (11/10/2021).
Ibas juga mengingatkan akan pentingnya perhitungan cost dan benefit bagi BUMN. Ia juga berharap agar program ini tidak berakhir lebih dalam pembiayaannya, yang akhirnya bisa menjadi mangkrak.
Permasalahan kereta cepat dan berbagai proyek lainnya sudah lebih dulu dibahas Ibas dalam Rapat Panja (Panitia Kerja) di DPR RI (13/9/2021) lalu.
Dalam rapat ini, Ibas membahas keberlangsungan program 'gunting pita' atau yang mengacu pada program-program yang sudah dicanangkan sebelum masa pemerintahan Jokowi.
Ibas berharap program-program yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, yang sudah ada sejak era SBY, bisa dikebut dan segera selesai. Pasalnya, banyak sekali program yang tengah berjalan tapi tidak kunjung jelas akhirnya.
“Jujur, kita ini ingin ‘gunting pita presiden’ ini terus berlanjut. Apalagi kalau pita-pita yang digunting itu merupakan program prioritas. Ya, tidak hanya Jembatan Merah Putih di Ambon. Kalau bisa itu kereta cepat juga selesai," ujarnya.
"Saya pernah menengok langsung bersama Komisi VI. Meski proyek kereta cepat ini menuai pro dan kontra, saya yakin rakyat akan senang jika selesai. Atau Trans Sumatra misalkan yang sudah banyak dibahas," ungkapnya.
"Saya juga bermimpi, mewakili Dapil VII Jatim, proyek Jalan Lintas Selatan (JLS) Jawa Timur itu bisa selesai. Hingga saat ini pembiayaan untuk JLS saja belum jelas,” paparnya.
Dalam rapat yang sama, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR ini juga mengingatkan pemerintah untuk tidak melupakan proyeksi jangka panjang yang berkesinambungan.
Menurut Ibas, ekspansi fiskal memang diperlukan dalam pemulihan ekonomi saat ini. Namun, proyeksi jangka panjang yang berkesinambungan juga harus diperhitungkan.
“Di satu sisi, ekspansi fiskal diperlukan untuk penanggulangan Covid-19. Supaya pemulihan ekonomi dan pelaksanaan jaminan sosial dapat dilakukan secara cepat dan efektif," ungkap Ibas.
"Tapi terkadang apa kita ini harus agresif dengan tidak memperlihatkan beberapa hal lain? Agresif boleh, tapi harus masuk akal. Jangan sampai besar pasak daripada tiang. Ingat, kita perlu kesinambungan fiskal antargenerasi.” bebernya.
Keputusan Jokowi
Sementara di Tanah Air, Pemerintah Indonesia berupaya keras menyelamatkan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung agar tidak mengkrak.
Sebagai rencana menyelamatkan proyek kerja sama Indonesia-China itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Dalam Pasal 4 Perpres Nomor 93 Tahun 2021, Jokowi mengizinkan penggunaan dana APBN untuk membiayai Kereta Cepat Jakarta Bandung. Padahal sebelumnya, Jokowi beberapa kali tegas berjanji untuk tidak menggunakan uang rakyat sepeser pun untuk mega proyek tersebut.
Malaysia Berani Stop
Ambisi membangun kereta cepat di Asia Tenggara sebenarnya bukan hanya milik Indonesia. Malaysia juga menjadi salah satu negara ASEAN yang sudah membangun infrastruktur kereta cepat, namun belakangan proyek tersebut dihentikan.
Lantaran beberapa infrastruktur sudah terlanjur terbangun, Malaysia sampai harus menanggung kerugian serta membayar kompensasi ke Singapura, negara tetangga sekaligus mitra dalam proyek Kuala Lumpur-Singapore High Speed Rail (HSR).
HRS merupakan proyek besar yang dijalankan bersama dua Negeri Jiran tersebut yang mengoneksikan ibu kota Kuala Lumpur dengan kawasan Jurong di Singapura.
Proyek HRS tersebut bakal memakan investasi sebesar 25 miliar dollar AS atau sekitar Rp 352,89 triliun. Saat kesepakatan itu, Malaysia dimpimpin oleh PM Najib Razak.
Dari kajian hingga pembangunan beberapa infrastruktur pendukung hingga proyek akhirnya dibatalkan, Malaysia sudah mengeluarkan anggaran cukup besar.
Pihak Singapura meminta Malaysia membayar kompensasi atas sejumlah kegiatan konstruksi yang telah berjalan. Malaysia diketahui harus membayar biaya kompensasi sebesar Rp 1,1 triliun ke Singapura.
Singapura juga diketahui sudah terlanjur membangun infrastruktur HSR di Jurong. Kini proyek tersebut mangkrak setelah Malaysia memilih membatalkan proyek HSR.
Dalam pernyataannya resminya, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin, mengatakan untuk sementara waktu proyek tersebut dibatalkan karena pandemi Covid-19.
"Terkait dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Malaysia, pemerintah Malaysia telah mengajukan beberapa perubahan pada proyek HSR," kata Muhyiddin Yassin dikutip dari Channelnewsasia, Senin (11/10/2021).
"Kedua negara tetap berkomitmen untuk menjaga hubungan bilateral yang baik, bekerja sama dengan erat di berbagai sektor, termasuk memperkuat konektivitas antar-kedua negara," lanjut dia.
Sementara itu dikutip dari Bloomberg, dampak pandemi Covid-19 membuat sejumlah kesepakatan kedua negara harus mengalami beberapa perubahan yang membuat kedua negara sepakat menghentikan kerja sama pembangunan HSR.
Pengumuman penghentian kerja sama bertepatan dengan berakhirnya tahun 2020 atau baru diumumkan secara resmi pada 31 Desember 2020 lalu.
Proyek tersebut bermula dari inisiasi kedua negara untuk mengembangkan kawasan yang dilalui proyek HSR. Sempat jadi perdebatan publik, kedua negara sepakat patungan untuk mulai membangun kereta cepat pada tahun 2013 lalu.
Total panjang lintasan rel kereta cepat dari Kuala Lumpur hingga Jurong mencapai 218 mil atau 350 kilometer.
Laporan Reporter Vendy Yhulia Susanto (Kontan) dan Fransikus adhiyuda (Tribunnews)