TRIBUNNEWS.COM - Dalam menghadapi permasalahan lingkungan seperti emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) kerap melakukan upaya pemanfaatan energi terbarukan. Salah satunya melalui pemanfaatan biomassa untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan metode co-firing.
Metode co-firing memang bisa mengurangi pemakaian batubara pada PLTU. PLN pun menginisiasi langkah ini sejak tahun 2020 dalam rangka mengurangi pemakaian batubara di sejumlah PLTU. Hingga kini, telah terdapat 52 PLTU co-firing dengan total kapasitas terpasang 2.000 megawatt (MW) yang tersebar di berbagai wilayah.
Kelebihan utama dari PLTU co-firing terdapat pada pemanfaatan bermacam biomassa seperti pelet kayu, sekam padi, dan cangkang kelapa sawit, dengan kadar 5-10 persen yang dicampurkan bersama batubara. Pada umumnya, pasokan biomassa ini bisa didapatkan dari masyarakat sekitar ataupun pengusaha lokal.
Infografis proses produksi PLTU co-firing (kompas/ismawadi)
Akan tetapi, masih terdapat kendala dalam hal pemenuhan dan keberlanjutan pasokan biomassa yang menjadi bahan baku PLTU co-firing. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengungkapkan bahwa isu keandalan pasokan pelet kayu pada PLTU co-firing cukup krusial. Menurutnya, produksi pelet kayu sebaiknya tidak menyebabkan perambahan hutan.
Kendala pemenuhan biomassa sekam padi di PLTU Jeranjang
Dari temuan Kompas.id saat berkunjung ke lapangan pada awal pertengahan Oktober 2021, terdapat juga permasalahan yang berbeda-beda dalam hal pemenuhan pasokan biomassa yang menjadi campuran batubara di beberapa daerah.
Salah satu PLTU co-firing yang menghadapi kendala dalam hal pemenuhan pasokan biomassa adalah PLTU Jeranjang 3 x 25 MW di Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
PLTU ini membutuhkan 500 ton batubara per hari. Di saat yang bersamaan, keberlanjutan pasokan biomassa sekam padi yang digunakan sebagai campuran dari batubara belum dapat terpenuhi.
Menurut Supervisor Senior Pengelolaan Energi Primer PLTU Jeranjang Slamet Supriyanto, permasalahan ini timbul dikarenakan biomassa sekam padi bersifat musiman.
Terlebih lagi, nilai kalori sekam padi cukup rendah, sekitar 2.000 kilokalori per kilogram (kkal/kg). Angka tersebut jauh di bawah nilai kalori batubara yang berjumlah sekitar 4.000 kkal/kg.
”Setelah berjalan setahun, pasokan biomassa masih terbatas, bahkan belum bisa memenuhi kebutuhan 3 persen kadar campuran yang setara 15 ton per hari per unit pembangkit,” ujar Slamet.
Pengadaan alat produksi masih jadi kendala di PLTU Ropa
Lain halnya di PLTU Ropa 2 x 7 MW di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. PLTU ini menggunakan biomassa dari rumput kering yang sudah diolah menjadi pelet dengan kadar campuran 5 persen.
Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Ende Petrus Djata menyebutkan bahwa potensi sampah organik (biomassa) di Ende sekitar 70 persen dari total 110,86 ton sampah per hari.
Dengan jumlah tersebut, sampah dapat dijadikan bahan baku untuk produksi pelet, sehingga dalam hal penyediaan sumber bahan baku, PLTU Ropa tidak menemui masalah. Setiap harinya, pelet menyumbang 15 ton untuk kebutuhan bahan bakar sebanyak 300 ton per hari, sementara sisanya bersumber dari batubara.
Akan tetapi, PLTU Ropa hanya memiliki dua mesin produksi pelet. Menurut Petrus Djata, jumlah tersebut tidaklah cukup untuk memproduksi pasokan yang dibutuhkan setiap harinya. Maka dari itu, kendala utama yang dialami oleh PLTU Ropa terletak pada pengadaan alat produksi.
Persaingan pasar yang ketat untuk cangkang kelapa sawit
Manajer Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan (UPDK) Singkawang, yang membawahkan PLTU Sintang, Ince Anjas mengatakan bahwa pasokan cangkang kelapa sawit sangat cukup untuk kebutuhan co-firing di PLTU Sintang 3 x 7 MW Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Dengan metode co-firing, PLTU ini dapat membakar batubara hingga 13.500 ton per bulan dan cangkang kelapa sawit 1.500 ton per bulan.
Namun, kendala yang ada terdapat pada persaingan pasar yang ketat. Di Singkawang, terdapat dua pemasok yang mampu memproduksi cangkang kelapa sawit hingga 5.000 ton per bulan. Harga cangkang kelapa sawit sendiri dapat mencapai Rp 750.000 per ton.
Permasalahannya, PLN bukanlah satu-satunya pasar bagi produsen cangkang kelapa sawit. Hal ini kemudian memunculkan potensi penjualan cangkang kelapa sawit ke pasar luar negeri dengan harga yang lebih tinggi.
Maka dari itu, perlu diyakinkan kepada para pemasok cangkang kelapa sawit di Singkawang
bahwa PLN merupakan tempat terbaik untuk pemasaran cangkang kelapa sawit.
PLN terus dorong kesuksesan co-firing
Meski dengan berbagai kendala yang ada, PLN terus berupaya dalam mendorong kesuksesan pemanfaatan biomassa untuk PLTU co-firing di berbagai daerah.
Dalam rangka menyukseskan PLTU-PLTU co-firing tersebut, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PLN Agung Murdifi menyebutkan bahwa PLN turut bersinergi dengan BUMN dan pemasok lainnya, termasuk dengan Perum Perhutani, PT Perkebunan Nusantara (Persero), dan PT Sang Hyang Seri (Persero).
”Untuk memenuhi pasokan biomassa, PLN berkoordinasi dengan BUMN, pemda, dan swasta untuk memastikan kesiapan rantai pasoknya,” ujarnya.
Sinergi dengan berbagai pihak ini merupakan langkah yang diambil PLN untuk menjamin pasokan dan kesediaan biomassa jangka panjang.
PLN pun turut mendorong potensi berdirinya industri biomassa melalui pengembangan hutan tanaman energi dan pemanfaatan sampah.
Selain ketiga PLTU di atas, Indonesia juga memiliki beragam kisah lain mengenai pembangkit-pembangkit listrik yang tersebar di berbagai daerah. Kisah-kisah tersebut diliput oleh Harian Kompas yang berkolaborasi dengan PLN dalam program Jelajah Energi Nusantara.
Melalui program ini, Anda dapat mengetahui beragam informasi mengenai pembangkit-pembangkit listrik di berbagai daerah serta langkah yang dilakukan PLN untuk merealisasikan energi terbarukan di tanah air.
Sebagai bagian dari rangkaian acara Hari Listrik Nasional 2021 Jelajah Energi Nusantara menyajikan kegiatan reportase atau peliputan penjelajahan pembangkit-pembangkit listrik di Indonesia. Program ini terbagi menjadi tiga bagian utama, yakni diskusi panel secara virtual (webinar), peliputan di lapangan, serta penulisan laporan dalam bentuk feature dan hard news di halaman koran Harian Kompas serta platform Kompas.id.
Saksikan program Jelajah Energi Nusantara setiap Senin di Harian Kompas, Kompas.id, serta media sosial Harian Kompas pada selama bulan Oktober hingga November 2021.