Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekitar 6,3 juta penduduk di Indonesia mengungsi karena terdampak bencana hidrometeorologi seperti hujan, banjir, atau tanah longsor.
Suhu rata-rata global tahun lalu 1,2 derajat Celsius lebih tinggi ketimbang era pra-industri (1850–1900). Padahal, sesuai target bersama, dunia ingin menghindar dari kenaikan temperatur hingga 1,5 derajat Celcius.
Di sisi lain, dunia kini membidik Net Zero Emission (NZE) pada 2060 demi mengurangi dampak perubahan iklim.
Namun, berdasarkan pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim 2050, sektor energi di 2030 nanti diperkirakan menghasilkan emisi lebih dari 1.100 juta ton CO2e.
"Indonesia diharapkan telah menurunkan emisi agar dapat meraih NZE sebelum 2060. Di sisi lain, 91% transportasi domestik saat ini masih didominasi energi fosil," ungkap Manager Energy Transformation, Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo pada webinar virtual, Rabu (27/10/2021).
Baca juga: Negara yang Tak Siap Antisipasi Perubahan Iklim Bakal Hadapi Krisis Energi, Indonesia Bagaimana?
Praktik tersebut berdampak buruk bagi lingkungan, sosial, dan keuangan negara. Seperti kerusakan hutan, korban lubang tambang, dan besarnya impor BBM.
Baca juga: Ekonom: Waspadai Dampak Krisis Energi, Harga Komoditas Akan Cenderung Naik
Jika transisi energi hanya dilakukan pada sumber energi tak terbarukan seperti batu bara cair atau gas, peralihan menuju energi terbarukan malah akan terhambat.
“Indonesia perlu transisi secara menyeluruh dari sumber energi berbasis fosil ke energi bersih dan terbarukan,” kata Deon lagi.
Baca juga: Kendaraan di DKI Wajib Uji Emisi Atau Kena Denda, Ini Cara Temukan Bengkel dengan Layanan Ini
Di sisi lain untuk mencapai target NZE, hutan diperlukan sebagai penyerap emisi. Sedangkan, industri energi berbasis fosil terbukti merusaknya.
Dalam perang melawan krisis iklim, kunci kemenangan bisa diraih dengan melindungi dan memulihkan ekosistem alam.