TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Permasalahan yang menimpa maskapai Garuda Indonesia dianggap sudah kronis dan sulit diselamatkan lagi.
Opsi pailit dan menggantikannya dengan maskapai Pelita Air Services memang menjadi langkah yang dianggap paling tepat.
Pengamat penerbangan MS Hendrowijono mengatakan langkah tersebut yang kemungkinan besar ditempuh oleh pemerintah.
Ia mengatakan, kasus yangg mirip-mirip juga terjadi di beberapa negara. Misalnya di Italia, Alitalia yang bangkrut karena pandemi membuat maskapai baru ITA Airways.
Baca juga: Pemerintah Terbitkan Izin Usaha Pelita Air, Begini Tanggapan Dirut Garuda
Nah kalau Garuda dianggap lebih baik diganti perusahaan lama yaitu Pelita Air.
"Saya bilang sudah 85 persen arahnya ke Pelita," kata Hendro kepada Tribunnews.com.
Maskapai milik PT Pertamina tersebut dianggap yang paling tepat menjadi pengganti Garuda daripada membuat maskapai baru yang butuh waktu lama.
Pelita Air telah lama beroperasi dan infrastrukturnya telah lengkap sehingga dianggap mumpuni.
"Pelita sudah memiliki banyak pesawat bahkan punya helikopter, jadi mudah dibesarkan menjadi maskapai domestik dengan layanan yang baik," kata Hendro kepada Tribunnews.com belum lama ini.
Baca juga: Diisukan Akan Gantikan Garuda, Pelita Air Service Kantongi Izin Terbang Berjadwal, Simak Profilnya
Kenapa tidak diganti dengan Citilink yang notabene adalah anak usaha Garuda, Hendro mengatakan, secara bisnis kalau diganti Citilink maka segala kewajiban Garuda akan dibebankan ke Citilink, jadi justru akan menambah masalah baru.
"Kalau pailit, Citilink dan anak perusahaan yang lain tetap bisa beroperasi sepert biasa tanpa ada pengalihan beban dari Garuda," ujarnya.
Mesk demikian opsi pailit tersebut harus mempertimbangkan hak-hak karyawan. Menurutnya paling utama adalah karyawan harus mendapatkan pesangon yang sesuai.
Pemerintah saat ini sedang mempertimbangkan opsi pailit Garuda dan digantikan dengan maskapai Pelita Air Service.
Kesalahan manajemen masa lalu Garuda membuat utang yang menggunung hingga Rp 140 triliun dengan utang yang telah jatuh tempo sebesar Rp 70 triliun.