Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan investasi hulu migas tetap berjalan, meski Mahkamah Konstitusi (MK) menyebut Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus direvisi dalam waktu maksimal dua tahun.
Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman mengatakan, proses perizinan investasi hulu migas saat ini masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 2/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), di mana UU tersebut sedang dilakukan revisi.
Baca juga: Bahlil Lahadalia Sebut Perizinan Hulu Migas Ada di BKPM Mulai Tahun Depan
"Belum banyak pengaruhnya karena sebenarnya RUU Migas belum jadi," kata Fatar saat 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021 (IOG 2021) di Bali, Senin (29/11/2021).
Menurutnya, UU Cipta Kerja lebih banyak pengaruh kepada proses perizinan, karena dapat mempercepat penyelesaiannnya.
Baca juga: Industri Hulu Migas Tidak Akan Ditinggalkan, Meski Pemerintah Kejar Net Zero Emission pada 2060
"Di kami urusan perizinan yang sulit. Kami dengan Kementerian ESDM itu sedang menggarap melibatkan instansi-instansi lain bagaimana caranya periizinan mudah dan cepat," paparnya.
"Kami lagi menyiapkan draf Raperpres (Rancangan Peraturan Presiden). Artinya kalau UU Ciptaker ini tidak bisa dilaksanakan, kami bisa gunakan Raperpres itu untuk bisa masuk, walaupun bukan undang-undang," sambung Fatar.
Ia menyebut, Raperpres ini memuat pemangkasan waktu perizinan industri hulu migas, misalnya terkait analisis dampak lingkungan (Amdal) yang memakan waktu 1,5 tahun agar dipercepat.
"Kemudian proses admnistrasinya cepat. Jadi proses makin cepat, biaya makin efisien," ucapnya.
Diketahui, MK memutuskan UU 11/2020 Cipta Kerja inkonstitusional secara bersyarat.
Putusan dibacakan Ketua MK Anwar Usman dalam sidang uji formil UU 11/2020 Cipta Kerja yang disiarkan secara daring, Kamis (25/11/2021).
Baca juga: Respons Jokowi Sikapi Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja: Investasi Tetap Aman dan Terjamin
"Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan," kata Anwar.
Dari sembilan hakim MK, sebanyak 5 hakim mengabulkan permohonan uji materi, sedangkan 4 hakim menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion.
Dalam pertimbangannya, hakim MK menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi.
Hakim MK juga menilai, dalam pembentukannya UU Cipta Kerja tidak memegang azas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak.
Namun, pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap subtansi UU. Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai Mahkamah tidak mudah diakses oleh publik.
Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja inkostitusional bersyarat selama tidak dilakukan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan dibacakan.
Apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkostitusional bersyarat secara permanen.
Selain itu, Mahkamah menyatakan seluruh UU yang terdapat dalam Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan.
MK juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dari Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja.
Tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.