News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Presdir OVO: Inklusi Keuangan di Area Perbankan Masih Sangat Tertinggal

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Karaniya Dharmasaputra, Presiden Direktur OVO

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Karaniya Dharmasaputra, Presiden Direktur OVO mengatakan, Indonesia saat ini menghadapi tantangan dalam literasi dan inklusi keuangan ke masyarakat.

Tantangan tersebut antara lain masih adanya ketertinggalan di sejumlah sektor jasa keuangan seperti di perbankan.

"Saat ini ada area area yang justru sangat ketinggalan, yang paling besar itu di area perbankan. Kalau kita masuk ke area lebih spesifik seperti pasar modal itu kecil banget, kalau tidak salah di bawah 5 persen," ujarnya dalam bincang virtual dengan media yang diikuti Tribunnews, Selasa (30/11/2021).

"Inklusi yang didorong oleh fintech membuat inklusi keuangan di Indonesia menjadi sangat bagus. PR kita sekarang adalah harus memperkecil gap," imbuhnya.

Karenanya, pihaknya berkomitmen meningkatkan literasi dan inklusi keuangan melalui akselerasi transformasi digital di Indonesia melalui pengembangan bisnis yang kini tidak hanya sebagai platform pembayaran digital saja.

Tapi sudah diperluas ke layanan investasi, proteksi dan pinjaman.

Data di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan, baru 38 persen masyarakat Indonesia yang paham mengenai lembaga dan produk keuangan.

Sementara, data di internal OVO menyatakan, platform ini telah memikat hati 9 dari 10 masyarakat Indonesia, dengan 71 persen adalah pengguna aktif.

Baca juga: OJK Umumkan Pemenang Kompetisi Inklusi Keuangan 2021

Mereka tersebar di sekitar 430 kota dan kabupaten di Indonesia dengan total merchant mencapai 1,2 juta merchant QRIS dan didominasi sektor UMKM seperti toko kelontong,  kedai, pedagang kaki lima, hingga sektor usaha yang sudah memiliki nama.

Perencana keuangan Annisa Steviani menilai, masyarakat ikut berperan dalam meningkatkan literasi keuangan dan transformasi digital di Indonesia.

Baca juga: Bank DKI Dorong Inklusi Keuangan di Kawasan Pasar

Karenanya, masyarakat perlu diberikan edukasi terus-menerus agar tujuan transformasi digital tercapai maksimal.

Edukasi tersebut antara lain juga harus mencakup pemahaman mengenai keamanan transaksi di platform digital, kemudahan serta manfaat mengelola uang di era digital.

Kiri ke kanan: perencana keuangan Annisa Steviani, Head of Corporate Communication OVOHarumi Supit dan Danang Arradian, senior tech journalist.

Menurutnya, masyarakat perlu diajak berpikir terbuka dalam menerima budaya atau pemahaman baru yang mencakup keamanannya, kemudahan dalam transaksi digital, serta pengetahuan mengenai layanan keuangan yang ditawarkan seperti kehalalan produk investasi dan asuransi.

Baca juga: Genjot Literasi Keuangan, Stockbit Academy Bantu Masyarakat Belajar Saham

"Edukasi ini perlu dilakukan secara terus menerus melalui kolaborasi berbagai pihak dan pemangku kepentingan," ujar Annisa.

Dia memaparkan, 38 persen masyarakat saat ini sudah well literate pada lembaga keuangan dan produk keuangan. Sementara, indeks inklusi keuangan indonesia saat ini mencapai 76,19 persen.

Baca juga: Pejuang Kreatif, Catat 4 Tantangan Ini Kalau Mau Berkembang di Era Digital!

Namun, 46 persen orang Indonesia ternyata memiliki dana darurat hanya untuk 1 minggu ke depan dan hanya 9 persen yang punya dana darurat untuk 6 bulan ke depan.

"Literasi keuangan mendukung kemajuan ekonomi. Perputaran uang akan baik sehinga mendukung efektivitas kemajuan ekonomi sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi, kemandirian bangsa, dan lebih kuat menghadapi ketidakpastian global," ujar Annisa.

Selain itu, literasi keuangan juga membuat kehidupan secara umum lebih sejahtera karena siap menghadapi kondisi darurat, tidak mudah tertipu investasi bodong dan tergoda pinjaman online.

Dia menambahkan, kendala transformasi digital dan literasi keuangan di Indonesia saat ini antara lain kekhawatiran atas keamanan transaksi digital.

Selain itu, sebagian masyarakat belum merasakan kemudahan dan mafaat mengelola keuangan di era digital, serta kekhawatiran pada kehalalan produk dan layanan jasa keuangan serta faktor budaya dan menolak pemahaman baru.

"Pertimbangan halal dan haram produk keuangan juga jadi pertimbangan masyarakat dalam mengambil keputusan berinvestasi seperti asuransi dan reksadana," kata Annisa.

Perluas Layanan

Platform digital OVO sendiri kini tidak lagi sekadar layanan dompet digital dan platform pembayaran.

Platform ini telah menjelma menjadi ekosistem untuk beragam layanan keuangan yang lebih lengkap, mulai dari pembayaran, proteksi, investasi, hingga penyediaan modal usaha dengan menggandeng sejumlah mitra.

Untuk memperluas layanan keuangan digital ini OVO menjalin kerjasama dengan PT Pos Indonesia, Lotte Mart, dan Mitra Bukalapak untuk layanan isi ulang saldo (top up) secara offline di berbagai gerai di seluruh Indonesia.

Di layanan investasi, pihaknya menjalin kerjasama dengan Bareksa, Manulife Aset Manajemen Indonesia, Syailendra dan Bahana TCW Investment Management.

Melalui aplikasi di smartphone, OVO menyediakan pilihan produk reksa dana konvensional dan syariah.

Di layanan asuransi, OVO Proteksi menyediakan asuransi kesehatan hingga kendaraan. Di asuransi kesehatan dan asuransi jiwa, OVO bekerjasama dengan Prudential Indonesia dengan premi terjangkau.

Menurut Karaniya, melalui akselerasi transformasi digital di segala lapisan, baik masyarakat, UMKM dan mitra, pihaknya berhasil menciptakan siklus pertumbuhan yang positif.

Misalnya, 70 persen pelaku UMKM yang sudah bergabung di ekosistem OVO mengalami lonjakan transaksi harian rata-rata sebesar 30 persen.

Rata-rata pendapatan per bulan mereka juga meningkat 27 persen berdasar pernyataan dari 68 persen responden yang mengalami peningkatan pendapatan bulanan setelah bergabung ke ekosistem OVO.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini