TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Perlakuan terhadap perbankan yaitu digital dan konvensional oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidakberbeda.
Keduanya harus ikut menggerakkan ekonomi lewat penyaluran kredit sebagai fungsi utama perbankan.
Dalam menyalurkan kredit, tentu prinsip kehati-hatian yang utama.
Lebih aman bagi perbankan sudah memiliki ekosistem sendiri.
Bagi yang belum mau tak mau harus menggandeng pihak lain.
Baca juga: Negara G20 Anggap Mata Uang Digital Tak Bisa Ditolak Harus Dirilis, Tinggal Atur Waktunya
Seperti Bank Jago. Direktur Utama Bank Jago, Kharim Siregar mengatakan, tahun depan akan mengucurkan kredit secara langsung.
Sayang, ia tak menyebut ke sektor apa.
Selama ini, Bank Jago menggandeng financial technology (fintech) dan multifinance dalam menyalurkan kredit secara channeling. Dan tentu saja dua institusi itu juga sudah menggandeng lembaga keuangan lain.
Bank Jago memang harus berhitung. Para kompetitornya sudah memiliki ekosistem amat matang.
Baca juga: Wujudkan Kampus Digital, BRI Kerja Sama dengan Universitas Hasanuddin Luncurkan Unhaspay
"Agak berat melawan bank besar yang membangun ekosistem digital melalui mobile banking dan internet banking mereka," kata Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin, ke Kontan.co.id, Jumat (10/12).
Pakar keuangan dan pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy konsisten tak memandang nilai valuasi bank digital.
“Yang ada grup besar di belakangnya seperti BCA, Astra, BRI mestinya oke. Berikutnya mungkin grup Emtek dan lainnya,” ujar Budi.
Ia menilai, sangat penting bagi bank digital memiliki ekosistem memadai.
"Bank digital yang bisa jalan ialah yang punya ekosistem. Sedangkan yang lain, cuma ikut-ikutan supaya dapat valuasi yang tinggi alias ikut gorengan,” jelasnya.
Budi benar. Nu Bank dan Kakaobank, dua role model bank digital berangkat dari ekosistem yang kuat, loyal dan milik sendiri.
Baca juga: Pertemuan FCBD di Bali Bahas Desain Mata Uang Digital
Nu Bank acap disebut-sebut bank digital Indonesia karena salah satu investor Nu Bank juga berinvestasi di Indonesia.
Tapi sayang, langkah Nu Bank belum diikuti bank digital Indonesia.
Nu Bank membangun sendiri credit score nasabah. Sehingga bisa memberikan bunga kredit lebih murah dengan tetap menjaga risiko.
Sedangkan Kakaobank awalnya aplikasi percakapan yang amat populer di Korea Selatan, Kakaotalk.
Selama tujuh tahun Kakaotalk berhasil menjaring pengguna yang loyal.
Kini 90% penduduk Korea Selatan adalah pengguna Kakaotalk. Setelah solid, barulah mendirikan Kakaobank.
Dengan mengacu Nu Bank dan Kakaobank, sebetulnya bank digital bisa memaksimalkan teknologi yang mereka miliki.
Boleh-boleh saja sekarang menggandeng fintech atau multifinance.
Tapi jangan keasyikan mendongkrak valuasi.
Ke depan jangan lupa memperluas inklusi keuangan seperti Nu Bank yang membikin credit score, dan memberikan bunga murah. Sehingga mendorong ekonomi negeri. (Maizal Walfajri)