News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Perjalanan Karier CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin yang Mengundurkan Diri

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Perintis Bukalapak Achmad Zaky (kiri) dan CEO Bukalapak Muhammad Rachmat Kaimuddin (kanan).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Chief Executive Officer (CEO) Bukalapak Rachmat Kaimuddin resmi mengundurkan diri per 28 Desember 2021. Hal itu dikonfirmasi oleh VP of Corporate Secretary Bukalapak Perdana Arning Saputro, Rabu (29/12/2021).

Rachmat Kaimuddin masih menduduki posisi sebagai Direktur Utama Bukalapak dan akan membantu proses transisi kepemimpinan di internal Bukalapak.

Adapun Teddy Oetomo, Natalia Firmansyah, dan Willix Halim tetap menjabat sebagai Direktur Bukalapak.

Baca juga: Dirut Bukalapak Rachmat Kaimuddin Resmi Mengundurkan Diri Per 28 Desember 2021

Rekam Jejak

Rachmat Kaimuddin membawa nama Bukalapak tercatat sebagai perusahaan unicorn pertama di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Agustus 2021 lalu.

Sebelum bergabung dengan Bukalapak, dia menjabat sebagai Direktur Keuangan dan Perencanaan PT Bank Bukopin Tbk, sejak tahun 2018.

Jauh sebelum mengenyam posisi tersebut, Rachmat memulai karirnya sebagai Senior Associate di Boston Consulting Group.

Baca juga: Grab, Emtek dan Bukalapak, Tiga Raksasa Digital Siap Kawal Transformasi Solo Jadi Smart City

Dia juga pernah menjabat sebagai Managing Director PT Cardig Air Services, Chief Financial Officer PT Bosowa Corporindo, Managing Director PT Semen Bosowa Maros, Vice President Baring Private Equity Asia dan Principal of Quvat.

Pada 2014, dia menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris untuk PT Bank Bukopin Tbk, hingga kemudian ditunjuk sebagai Direktur di bank yang sama pada 2018.

Merantau

Menggantikan Achmad Zaky yang mundur di tahun 2019, nyatanya Rachmat memiliki kisah menarik di masa mudanya. Ia memantapkan diri untuk merantau di tahun 1994 dari kampung halamannya di Makasar Sulawesi Selatan ke Pulau Jawa, tepatnya di Magelang dan bersekolah di SMA Taruna Nusantara hingga tahun 1997.

Baca juga: Anak Usaha BRI dan Bukalapak Berikan Dana Segar ke Yield Guild Games Southeast Asia

Di SMA tersebut, Rachmat Kaimuddin satu angkatan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Saat mengenyam bangku pendidikan SMA, dia merupakan salah satu siswa unggulan, bahkan sempat mengikuti salah satu kejuaraan Olimpiade di Kanada.

Sayangnya, setelah tamat SMA, dia tidak lulus seleksi masuk perguruan tinggi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) kala itu.

Meski demikian, hal tersebut merupakan cikal bakal Rachmat Kaimuddin memperoleh beasiswa untuk berkuliah di salah satu universitas teknologi terkemuka Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat jurusan electrical enginering.

Rachmat Kaimuddin memastikan alasan mengenyam pendidikan di luar negeri bukanlah karena tidak memiliki jiwa nasionalisme, namun karena ia tidak lolos seleksi UMPTN.

“Kebetulan saya selalu juara kelas saat SMA, dan saya sempat mewakili indonesia olimpiade di Kanada, tapi setelah itu ternyata saya tidak lulus UMPTN. Rezeki saya waktu itu, saya dapat beasiswa, dapatnya beasiswa di luar negeri, mungkin sudah jalan Tuhan, bukan karena enggak nasionalis sok-sok sekolah di luar negeri,” ujar Rachmat Kaimuddin mengenang masa sekolahnya.

Menjalani kehidupan di Amerika Serikat juga ternyata butuh waktu untuk penyesuaian. Karena menurut Rachmat, banyak perbedaan-perbedaan yang mau tidak mau harus dijalani ketika berada di negeri orang.

Hal yang paling butuh adaptasi menurut Rachmat adalah dari segi bahasa, cara menulis, hingga mengutarakan pendapat.

“Ya namanya hidup di negara orang, tentunya banyak penyesuaian termasuk kendala di bahasa juga meskipun saat di sekolah dan saat TOEFL sudah bagus, itu tentunya butuh penyesuaian,” jelas dia.

Seperti mahasiswa lainnya, Rachmat Kaimuddin juga sempat melakukan pekerjaan-pekerjaan lepas saat menjadi mahasiswa. Dia sempat bekerja sebagai grader, hingga menjaga perpustakaan yang gajinya hanya cukup untuk membeli makanan.

“Kalau pertama kali saya kerja, itu pas kuliah, pernah jadi grader dan bahkan menjadi penjaga perpustakaan. Itu gajinya cuma cukup untuk beli makanan,” kata Rachmat.

Lulus di tahun 2001, Rachmat sempat bekerja di salah satu perusahaan chip dengan posisi design enginer. Selang menjalani kerja di AS, tahun 2003 ia kembali ke Indonesia dan memulai karier sebagai Consultant di Boston Consulting Group Jakarta.

Tak mau buka-bukaan soal gaji, Rachmat membandingkan bahwa gaji yang ia terima di Indonesia adalah separuh dari gajinya saat ia bekerja di AS. Namun, dengan semangat nasionalis yang tertanam di bangku sekolah ia bertekad untuk turut berkontribusi untuk pembangunan negeri dengan kembali ke Indonesia dan memulai karier di tanah air.

“Dari pada jemput angka, saya bilang pas saya kerja di AS dan saya mau balik ke Indonesia, gaji saya berkurang kira-kira setengahnya. Jadi memang ada pengurangan gaji. Tapi karena saya memang ingin kerja di Indonesia yaudah engak apa-apa mulai dari awal lagi,” jelas dia.

Di tahun 2006, Rachmat melanjutkan studinya Magisternya selama dua tahun di Stanford University Graduate School of Business mengambil gelar Master of Business Administration (MBA) hingga tahun 2008. Rachmat bercerita saat itu startup di Indonesia masih jarang, berbeda dengan AS yang mana dirinya sudah terpapar teknologi-teknologi startup kala itu.

Lanjutkan studi di Universitas Stanford yang merupakan kawasan perusahaan-perusahaan rintisan teknologi yang dikenal sebagai Silicon Valley, Rachmat cukup sering berbaur dengan teman-temannya yang bekerja di perusahaan startup teknologi.

“MIT itu seperti universitas yang sangat kental dengan teknologi, demikian juga dengan Stanford yang berada di Silicon Valley. Disitu ada Google, Apple dan perusahaan teknologi lainnya. Jadi pas ambil MBA, kita banyak terpapar dunia starup. Cuma waktu itu di tahun 2006-2008 belum ada starup yang gede, jadi saya banyak dengar dari teman-teman yang bekerja di startup,” lanjutnya bercerita.

Agar lebih jelas, Rachmat Kaimuddin merinci saat ia melanjutkan S2, Apple baru saja merilis generasi pertama iPhone. Rilis iPhone diikuti dengan rilis smartphone android. Barulah kemudian banyak perusahaan mengembangkan aplikasi. Namun, saat kembali ke Indonesia hal tersebut masih belum ada.

Kembali ke Indonesia pasca studi S2 tahun 2009, Rachmat menempati posisi Managing Director untuk PT Cardig Air Services sembari juga mengemban posisi Principal di Quvat. Di tahun 2012 ia juga sempat menduduki posisi Vice President di Baring Private Equity Asia, dan kemudian tahun 2014 ia menduduki posisi Chief Financial Officer / CFO di PT Bosowa Corporindo. Tahun 2016 sebagai Managing Director PT Semen Bosowa Maros.

Di 2018, Rachmat menjadi Direktur Keuangan dan Perencanaan di PT Bank Bukopin Tbk. Dimana sebelumnya, tepatnya di 2014, Rachmat telah menjadi Komisaris di Bank Bukopin sampai ditunjuk menjadi direktur.

Pria kelahiran 1979 yang sempat bercita-cita menjadi pilot, jenderal dan insinyur ini mulai bergabung di Bukalapak pada tahun 2020. Dia bilang, pihak Bukalapak meminta dirinya untuk mengembangkan Bukalapak menjadi perusahaan yang tidak hanya besar namun juga sustainable untuk jangka panjang.

Rachmat Kaimuddin mengaku tertarik untuk bergabung karena pada dasarnya Bukalapak mempunyai misi untuk membantu dan memberdayakan UMKM. Dengan misi yang mulia tersebut, dia merasa terhormat bisa diminta untuk bergabung.

“Karena Bukalapak sejak lama adalah perusahaan yang didirikan untuk memberdayakan UMKM, jadi misinya sangat mulia. Hanya segelintir perusahaan teknologi yang bisa mencapai level seperti Bukalapak. Ini adalah asset nasional dan merupakan suatu kehormatan bagi saya bisa menjadi bagian dari Bukalapak,” jelas Rachmat.

Bergabungnya Rachmat di Bukalapak tentunya juga memiliki motivasi yang kuat untuk menumbuhkan kinerja perusahaan yang listing dengan kode emiten BUKA pada 6 Agustus 2021 tersebut. Dengan membawa Bukalapak menjadi perusahaan terbuka, Rachmat berharap Bukalapak bisa tumbuh, memperbaiki kinerja, dan memberikan profitabilitas yang baik untuk semua.

“Sebagai salah satu perusahaan teknologi besar yang IPO pertama kali di Indonesia, PR-nya adalah bagaimana bisa terus tumbuh, sustainable, sambil terus melaksanakan misinya, a fair economy for all, melalui pemberdayaan UMKM,” tutup Rachamat Kaimuddin.(Kompas.com, Tribunnews.com)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini