TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Fenomena baru terjadi di Bursa Efek Indonesia (BEI), booming keuangan digital di dalam negeri berimbas positif pada pasar saham.
Harga saham bank digital kini melambung karena permintaan para investor yang cukup tinggi.
Padahal bank-bank tersebut masih tergolong bank kecil.
Sejak 2021 lalu, investor baik dari dalam negeri maupun asing terus mengincar saham bank digital sehingga kini harganya termasuk yang mahal.
Murah atau mahalnya suatu perusahaan, bisa dilihat dari nilai price to book value (PBV). Indikator ini menunjukkan rasio harga terhadap nilai buku bank tersebut.
Berdasarkan data RTI PBV beberapa bank digital sebagai berikut, Bank Neo Commerce (BBYB) 17,82 kali, Bank Jago (ARTO) 27,26 kali, Allo Bank (BBHI) 64,22 kali, Bank Aladin (BANK) 27,54 kali, dan Bank Raya (AGRO) 15,59 kali.
Baca juga: Bank Indonesia Prediksi Inflasi 2021 Sebesar 1,9 Persen
Nilai ini jauh dibandingkan bank digital luar negeri yang telah memiliki ekosistem besar dan nasabah loyal seperti NuBank 10 kali dan KakaoBank 8,59 kali.
Ekonom yang juga pakar keuangan dan pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai PBV bank digital lokal sudah kemahalan sehingga dengan harga setinggi itu, potential untuk meningkat (upside) sudah sangat terbatas.
“Sudah tidak seimbang dengan downside risk-nya yang begitu besar. PBV lebih dari 5 kali sudah kemahalan, apalagi yang belasan atau puluhan kali. Pada akhirnya, saat kondisi sudah normal, hanya ada 1 atau 2 dari bank digital itu yang bertahan dengan PBV tinggi,” ujar Budi kepada Kontan.co.id, Minggu (2/1/2022).
Ia menyatakan, bank digital yang akan berhasil di Indonesia harus memiliki ekosistem digital dengan e-commerce ataupun transportasi online. Lantaran akan memberikan manfaat yang cukup signifikan bagi nasabahnya.
”Itu sebabnya bank digital yang bisa jalan ialah yang punya ekosistem. Sedangkan yang lain, ya cuma ikut-ikutan supaya dapat valuasi yang tinggi alias ikut gorengan,” tuturnya.
Baca juga: Bank Himbara Diminta Blokir Rekening Baru Penerima BSU yang Belum Diaktivasi
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menilai tingginya PBV bank digital terjadi karena bank digital dilihat sebagai dan memiliki prospek yang baik. Ia menyatakan investor perlu berhati-hati terhadap bank baru ini.
“Karena mengandung risiko apabila ternyata kapitalisasinya ini melebihi dan suatu saat jika kondisi ekonomi dan industri turun maka nilai saham tersebut bisa hancur dan nama baik bank juga rusak,” paparnya kepada Kontan.co.id Minggu (2/1).
Amin melihat ada dua sisi dari tingginya PBV bank digital lokal, pertama positif apabila investor berhasil mendapatkan gainnya atau keuntungan. Sisi negatifnya, bila bank tersebut over value dan tidak bisa memberikan imbal hasil yang sesuai ekspektasi pasar dengan nilai bukunya yang sebenarnya.
Baca juga: Bank Mandiri Taspen Gelar Program Bedah Rumah Bagi Pensiunan di Tengah Pandemi