TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir melaporkan kasus dugaan korupsi di PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
Erick Thohir datang ke Kejaksaan Agung untuk melaporkan dugaan kasus korupsi terkait pengadaan pesawat ATR 72 seri 600.
Erick Thohir menyerahkan bukti dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan pesawat ATR 72 seri 600 yang dilakukan PT Garuda Indonesia Tbk ke Kejagung.
Baca juga: Usut Dugaan Kasus Korupsi, Jaksa Agung Tegaskan Bakal Bersih-bersih Garuda Indonesia
Adapun bukti yang diserahkan, menurut dia, bukti yang valid mengenai dugaan kejanggalan dalam proses pengadaan pesawat tersebut.
"Kami serahkan bukti-bukti audit investigasi. Jadi bukan tuduhan karena kita bukan eranya saling menuduh. Tapi, musti ada fakta yang diberikan," ujar Erick di Gedung Kejagung, Selasa (11/2/2022).
Berdasarkan data, Erick mengungkapkan bahwa proses pengadaan pesawat tersebut terdapat indikasi dugaan korupsi.
Leasingnya itu ada indikasi korupsi. Dengan merek yang berbeda-beda," kata Erick.
Erick Thohir menyebutkan bahwa pihaknya menggandeng Kejaksaan Agung untuk dapat melakukan perbaikan terhadap proses administrasi menyeluruh di Kementerian BUMN.
Menurutnya, kasus Garuda merupakan satu dari serangkaian program besar transformasi BUMN yang telah dicanangkan dirinya sejak awal menjabat.
"Ini kami harapkan juga tidak hanya untuk kasus garuda. Ini banyak juga hal-hal lain yang akan kita dorong ke kejaksaan untuk kasus-kasus di Kejaksaan. Agar tadi, ini merupakan program yang menyeluruh. Tidak hanya satu-satu isu diambil," ucap Erick.
Lebih lanjut, Erick menuturkan Kementerian BUMN akan bekerja sama penuh dengan aparat penegak hukum untuk dapat melakukan penindakan terhadap pegawai hingga pejabatnya yang melanggar aturan.
"Saya rasa, sudah saatnya memang oknum-oknum yang ada di BUMN harus dibersihkan. Ini memang tujuan utama kita terus menyehatkan daripada BUMN tersebut," pungkas Erick.
Baca juga: Viral, Video Pesawat Garuda Kesulitan Mendarat di Iran, Dirut Pastikan Hoaks
Pengadaan ATR di Era Dirut AS
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin menyebutkan bahwa pihaknya sedang menyelidiki dugaan kasus tindak pidana korupsi dalam proses pembelian pesawat di PT Garuda Indonesia tersebut.
"Hari ini adalah menjadi permasalahannya adalah soal Garuda Indonesia. Yang tadi dibicarakan, yang pertama adalah dalam rangka restrukturisasi Garuda Indonesia. Yang kedua adalah laporan garuda untuk pembelian ATR 72600. Ini adalah utamanya dalam rangka kami mendukung Kementerian BUMN dalam rangka bersih-bersih," kata Burhanuddin.
Burhanuddin menyampaikan kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat tersebut diduga terjadi di era kepemimpinan Direktur Utama Garuda Indonesia berinisial AS.
"Direktur utamanya adalah AS," jelas dia.
Namun demikian, Burhanuddin menyampaikan pihaknya akan menyelidiki potensi pembelian pesawat selain ATR 72600.
"Kalau pengembangan pasti dan insyaallah tidak akan berhenti di sini," pungkas Burhanuddin.
Baca juga: Garuda Usulkan Perpanjangan Jatuh Tempo Pemegang Sukuk Rp 7,15 Triliun
Kasus Pengadaan Pesawat Sempat Mencuat di 2021
Kasus pengadaan pesawat juga sempat mencuat tahun awal tahun 2021. Bahkan Majelis Hakim telah menjatuhkan vonis mantan Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada Garuda Indonesia periode 2007-2012 Hadinoto Soedigno delapan tahun penjara atas pengadaan pesawat di Garuda Indonesia.
Hadinoto menjadi terdakwa dalam kasus suap dan tindak pidana pencucian uang terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat pada 2009-2014, antara lain pengadaan Airbus A330 series, pesawat Aribus A320, pesawat ATR 72 Serie 600 dan Canadian Regional Jet (CRJ) 1000 NG, serta pembelian dan perawatan mesin Rolls-Royce Trent 700 series
Selain pidana badan, dalam persidangan 21 Juni 2021, Hadinoto dihukum untuk membayar denda sebesar Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan. Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar US$2,302 juta dan EUR477.540 atau setara dengan S$3.771.637,58 selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Baca juga: Garuda Indonesia Terbangkan Bantuan Pemerintah Indonesia Seberat 65 Ton untuk Afghanistan
Apabila Hadinoto tidak membayar uang pengganti, harta bendanya akan disita dan dilelang oleh jaksa. Jika harta bendanya tidak cukup untuk menutupi pidana uang pengganti, kemudian diganti dengan pidana penjara selama enam tahun.
Yang juga jelas, putusan majelis hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jaksa Penuntut Umum menuntut Hadinoto agar dibui selama 12 tahun. Denda yang dijatuhkan hakim juga jauh lebih rendah dari tuntutan JPU sebelumnya, yaitu Rp10 miliar subsider delapan bulan kurungan.
Dalam dakwaan JPU KPK, Hadinoto diyakini menerima suap dari Rolls-Royce terkait pembelian dan perawatan mesin RR Trent 700 series, lalu dari Airbus atyas pengadaan pesawat A330 dan A320 dan dari Bombardier terkait pengadaan pesawat CRJ 1000NG.
Tak sampai disitu, suap juga mengalir atas pengadaan ATR 72 seri 600. Selain suap, Hadinoto juga dinilai telah menerima fasilitas pembayaran makan malam maupun penginapan seharga Rp 34 juta dan US$4.200 berupa fasilitas sewa pesawat pribadi sebesar.
Perbuatan Hadinoto dilakukan bersama Emirsyah Satar yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia, serta Captain Agus Wahjudo. Ketiganya terlibat untuk mengintervensi pengadaan pesawat dan mesin pesawat.
Adapun Emirsyah mendapat hukuman 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor. Emirsyah juga terbukti menerima suap terkait pengadaan pesawat dan mesin dari Airbus dan Rolls-Royce, serta tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Selain kurungan dan denda, Emirsyah juga dijatuhi hukuman pidana membayar uang pengganti sebesar SG$ 2.117.315,27 paling lambat 1 bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau subsider 2 tahun kurungan.
Emirsyah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan alternatif kesatu-pertama.
Emirsyah juga terbukti bersalah melakukan TPPU sebagaimana Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 Ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kedua. (Kontan/Kompas.com/Tribunnews.com)