TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Meski pemerintah telah menggelontorkan minyak goreng satu harga yang dibanderol Rp 14.000 per liter, pada kenyataannya di pasaran tetap langka.
Para ibu-ibu masih kerepotan mencari-cari minyak goreng murah yang dijual di ritel modern, padahal program minyak goreng satu harga ini sudah berlangsung sejak seminggu lalu.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tata Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono mengatakan, langkanya minyak goreng Rp 14.000 per liter di pasar lantaran adanya panic buying dari masyarakat.
Baca juga: Daftar Harga Minyak Goreng per 1 Februari 2022, Mulai Rp 11.500 per Liter
"Kan sekarang orang masih pada panic buying. Lihat aja meskipun pembeliannya sudah dibatasi 2 pouch per orang tapi ada aja yang keluarga lain yang disuruh untuk membeli padahal masih satu keluarga, jadi satu keluarga itu bisa beli minyak goreng sampai 10 liter," ujar Veri saat dihubungi Kompas.com, Jumat (28/1/2022).
Hal inilah menurut dia, yang menyebabkan berapa banyak pun pihak ritel menjual minyak goreng di tokonya tetap akan habis.
Veri juga mengatakan, sebenarnya secara hitung-hitungan pihak produsen minyak goreng sudah sangat cukup dalam memproduksi dan mengedarkan minyak goreng.
Hanya saja menurut dia, karena adanya panic buying tersebut, stok minyak goreng tetap terasa kurang.
"Misalnya, produsen sudah merencanakan jumlah produksi minyak gorengnya 1.000 liter untuk 1 bulan, terus karena ada kepanikan tadi, orang membeli yang dikira bakal cukup tapi ternyata tidak. Jadi terasa stoknya yang berkurang padahal tidak," jelas Veri.
Baca juga: Minyak Goreng Rp 14 Ribu Mulai Langka di Toko Ritel Modern, KPPU Lanjutkan ke Ranah Penegakan Hukum
Oleh sebab itu, kata dia, pihaknya dalam hal ini Kementerian Perdagangan telah menyuruh pihak produsen minyak goreng untuk terus menggenjot produksinya.
"Pak Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (DJPN) kita, pak Oke, sudah memanggil mereka (produsen) biar hasil produksinya terus digenjot," kata Veri.
Sementara itu, Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor mengatakan, pihaknya yang ditunjuk sebagai salah satu produsen minyak goreng untuk program minyak goreng satu harga, mengaku sudah melakukan instruksi yang diminta oleh pemerintah.
Baca juga: Minyak Goreng Rp 14.000 Belum Ada di Semua Pasar Tradisional, Kemendag: Pasokannya Masih Terbatas
Bahkan, pihaknya telah memproduksi jumlah minyak goreng untuk program tersebut melebihi permintaan pemerintah.
"Saya enggak bisa ngasih datanya harus dicek satu-satu tapi yang pasti Wilmar memproduksi minyak goreng untuk program tersebut di atas dari jumlah yang diminta. Cek saja di lapangan, stok ada," kata Master Parulian.
Master juga menilai, penyebab minimnya minyak goreng di ritel lantaran masih banyaknya konsumennya yang panic buying.
"Mereka berfikir program ini sebentar jadi beli barang (minyak) langsung yang banyak untuk stok yang lama. Jadi dirasa stoknya yang minim, padahal tidak begitu," ungkap Master.
"Logikannya gini, misal nih, kebutuhan awalnya 2 juta ton, tapi karena sebagian besar yang tadinya cuma beli sekilo jadi 3 kilogram satu kekuarga karena takut kekurangan minyak goreng, otomatis kebutuhannya meningkat kan. Itu yang buat jadi terasa stoknya minim," sambung dia.
Ayam Mati di Lumbung Padi
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, polemik mengenai mahalnya minyak goreng di Indonesia ibarat ayam yang mati di lumbung padi.
Sebab dijelaskan dia, Indonesia menjadi negara terbesar penghasil Crude Palm Oil (CPO), namun masyarakatnya belum bisa mendapatkan harga minyak goreng yang murah.
"Dalam gejola minyak goreng di pasar ibarat ayam mati di lumbung padi. Mengapa, karena kita penghasil CPO yang terbesar tapi negara gagal memasok harga minyak yang rasional kepada masyarakat dengan harga yang tinggi bahkan kalah jauh dengan Malaysia.
Ini malah sebaliknya, penghasil CPO terbesar tapi harganya malah yang termahal," ujarnya dalam diskusi Media Syndicate Harga Minyak Goreng Naik Tinggi secara virtual, Jumat (28/1/2022).
Tulus menilai pemerintah tidak memiliki kesiapan dari jauh-jauh hari untuk memitigasi gejola harga. Padahal jauh sebelumnya, Tulus bilang, kenaikan minyak goreng sudah terprediksi.
"Namun yang jadi kambing hitamnya adalah demand tinggi karena menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru), itu selalu disebut alasannya. Pasti ini tidak kayak gitu pasti ada sesuatu distorsi pasar yang lebih seitemik," kata Tulus.
Tulus juga mengkritisi terkait program satu harga yang dimana semua minyak goreng dibanderol Rp 14.000 per liter. Dalam program ini, pemerintah menyiapkan 1,2 juta miliar liter minyak goreng untuk didistribusikan dengan harga yang sama.
Tulus menilai pemerintah dalam membuat program ini justru salah kaprah karena tidak mengetahui dan memahami psikologi konsumen.
Bukan hanya itu, Tulus juga mengatakan, pemerintah gagal dalam mendalami dan memahami supply chain terhadap minyak goreng.
"Saya simpulkan subsidi 1,2 juta miliar liter itu kebijakan yang sia-sia seperti menggarami laut. Terbukti kan programnya tidak efektif," ungkap Tulus.
KPPU Amati Langkanya Minyak Goreng
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengamati mulai langkanya minyak goreng Rp 14.000 per liter di toko-toko ritel modern.
Seperti diketahui, sejumlah masyarakat mengeluh kesulitan mendapatkan minyak goreng satu harga tersebut. Padahal, pemerintah sudah menetapkan kebijakan minyak goreng Rp 14.000 per liter sejak 19 Januari 2022.
"Komisi sejak Rabu (26/1/2022) kemarin, memutuskan untuk melanjutkan hasil penelitian kami ke ranah penegakan hukum," Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur kepada Kompas.com, Jumat (28/1/2022).
"Khususnya dalam mengidentifikasi berbagai perilaku yang kemungkinan melanggar (atau dugaan pasal yang kemungkinan dilanggar), dan berbagai calon terlapor dalam permasalahan tersebut," sambung dia.
Bila penyelidikan KPPU menemukan adanya pelanggaran dari penimbunan minyak goreng, maka para produsen maupun pedagang akan dikenai sanksi yang diatur melalui Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999, tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Selain itu, KPPU juga mengungkapkan ada ancaman denda bagi pihak-pihak yang terbukti melakukan praktik monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat.
"Di UU Cipta Kerja yang mengamandemen UU No. 5 dan PP No. 44 Tahun 2021, denda pelanggaran persaingan usaha adalah paling banyak sebesar 50 persen dari laba atau keuntungan bersih yang diperoleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan," kata Deswin.
"Atau paling banyak sebesar 10 persen dari total penjualan pada pasar bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang," lanjut dia.
Sebelumnya diberitakan, kelangkaan minyak goreng terjadi di sejumlah daerah. Di Makassar misalnya, seorang ibu rumah tangga, Rukiah, mengaku kesulitan mendapatkan minyak goreng Rp 14.000 per liter.
"Susah sekali minyak goreng didapat. Kalau pun ada, harga minyak goreng masih saja mahal. Kalau minyak goreng kemasan, itu harganya mencapai Rp 20.000-an lebih.
Sedangkan harga minyak goreng curah Rp 18.000 per liternya," kata Rukiah yang ditemui, Jumat (28/1/2022).
Rukiah mengungkapkan, harga minyak goreng masih tinggi lantaran toko-toko menjual dengan harga mahal lebih.
Akibatnya, para pedagang minyak goreng tidak mau menjual barangnya dalam keadaan rugi.
Rukiah berharap, pemerintah segera mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng Rp 14.000 per liter dan kenaikan harga yang sangat drastis di pasaran. (Elsa Catriana/Ade Miranti Karunia)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Minyak Goreng Rp 14.000 Langka? Kemendag dan Produsen: "Panic Buying"!"