Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dinilai tidak mampu menjaga stabilitas harga pangan di dalam negeri seiring melonjaknya harga minyak goreng dan kedelai.
Padahal, indikasi kenaikan kedua harga komoditas pangan tersebut sudah muncul jauh-jauh hari, tetapi pemerintah seolah-olah membiarkannya tanpa ada tindakan antisipasi.
"Jelas ya pemerintah dalam stabilitas harga pangan itu memang kurang responsif, atau terlalu menganggap enteng," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira saat dihubungi, Senin (21/2/2022).
Baca juga: Kedelai Mahal, Perajin Tempe Tahu Mogok, Pemerintah Disarankan Barter Kedelai dengan Batubara
Tercatat, harga minyak goreng pada pertengahan tahun lalu mulai merangkak naik, di mana pada Oktober 2021 seharga Rp 17.200 per kg untuk minyak goreng kemasan.
Dalam menyikapi kenaikan harga tersebut, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan baru muncul pada awal tahun ini dengan menerbitkan harga eceren tertinggi minyak goreng, satu di antaranya Rp 14 ribu per liter untuk kemasan premium.
Namun, kebijakan tersebut tak mampu meredam harga minyak goreng, yang kini justru menjadi langka di lapangan.
Baca juga: Pedagang Tahu-Tempe Mogok, DPR Minta Pemerintah Segera Intervensi Soal Kedelai
Kemudian, harga kedelai pada 2021 berdasarkan keterangan Gabungan Koperasi Produsen Tempe-Tahu Indonesia (Gakoptindo) sebesar Rp 7 ribu per kilo gram dan kini Rp 11.500 per kilo gram.
Bhima menyebut, mencegah kenaikan harga kedelai sebenarnya bisa dilakukan jika pemerintah mau bergerak cepat, misalnya mendorong importir melakukan kontrak jangka panjang saat harga rendah pada saat itu.
Tapi, kata Bhima, pemerintah lebih memilih menyerahkan persoalan komoditas pangan pada mekanisme pasar tanpa juga melakukan intervensi melalui Bulog agar terjadi stabilitas harga pangan.
"Intervensi tidak dilakukan, begitu juga kemarin ketika pemerintah terlambat stabilisasi minyak goreng dan berakhir pada panic buying, karena subsidinya bukan melalui Bulog atau penerima masyarakat langsung, tapi subsidi minyak goreng kepada para produsen minyak goreng yang tentunya tidak efektif, dan moral hazardnya sangat besar," papar Bhima.
Hal senada juga disampIkan, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal yang menilai pemerintah tidak cepat melakukan antisipasi cegah kenaikan harga komoditas pangan.
"Kalau kita lihat dari minyak goreng, seharusnya ini tidak terjadi kenaikan karena kita adalah produsen terbesar dari CPO," papar Faisal.
Ia menilai, menjaga pasokan minyak kelapa sawit di dalam negeri untuk kebutuhan minyak goreng sebenarnya sangat mudah dilakukan pemerintah sebagai produsen CPO.
"Semestinya pemerintah memastikan pasokan dalam negeri cukup, kendalikan harga dalam negeri," ujar Faisal.
Terkait kedelai, kata Faisal, pemerintah terlalu menggantungkan kebutuhan dalam negeri dari impor tanpa adanya upaya mendorong produkvitas dan produksi di dalam negeri.
"Kita semestinya ada program yang jelas juga untuk terus meningkatkan kedelai dalam negeri, karena apa? Permintaan di dalam negeri besar," ucap Faisal.