TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mendukung revisi aturan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 terkait dana Jaminan Hari Tua (JHT) hanya bisa dicairkan saat buruh/pekerja berusia 56 tahun.
Menurutnya, suatu kebijakan yang baik harus meresonansi suasana kebatinan publik.
"Narasi yang dibangun bahwa sudah ada alternatif Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), itu sesungguhnya tidak sepenuhnya tepat," tutur Robert kepada Tribun Network, Rabu (23/2/2022).
Baca juga: Sekjen Gelora: Isu JHT Memasuki Fase Antiklimaks, Tidak Bisa Lepas Begitu Saja
Ombudsman juga menilai adanya potensi maladministrasi dalam penyusunan Permenaker 2/2022.
Robert menduga penyusunan Permenaker JHT tidak berwujud kepatutan dan prosedur wajib yang harus dipenuhi.
Intinya, kata Robert, sejauh mana kualitas proses penyusunan kebijakan publik secara sungguh-sungguh melibatkan pekerja sebagai pihak terdampak dari pemberlakuan Permenaker yang baru tersebut.
“Partipasi para pihak itu berintikan tiga hak prosedural berikut. Satu, diundang dan didengar (right to be heard), kedua hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan untuk memperoleh jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained)," terang Robert.
"Dari komunikasi dengan pekerja/buruh dan serikat organisasi mereka, partisipasi yang ada tidak bermakna (meaningful participation), masih sebatas formalitas dan terbatas cakupannya,” sambung dia.
Terkait kebijakan itu sendiri, Ombudsman menyadari bahwa landasan filosofi dan yuridis Permanaker tersebut relatif kuat dan ideal.
Namun, sisi sosiologis yang meresonansi realitas empirik kehidupan pekerja tidak tertangkap dengan baik.
Teks yang ideal akan tak bermanfaat bagi penyelesaian masalah jika tidak memperhatikan konteks besar yang krusial.
"Nah, apakah Permenaker itu sensitif dengan kerentanan hidup pekerja yang bergulat dengan situasi bertahan hidup ketika putus kerja," tutur Robert.
Baca juga: Jokowi Minta Permenaker soal JHT Direvisi, Bagaimana Tata Cara Penerbitan Peraturan Menteri?
Ia menegaskan, JKP sebagai bantalan JHT tidak dapat disebut inklusif karena cakupannya terbatas pada pekerja formal.
Robert mempertanyakan bagaimana dengan pekerja informal, bagaimana dengan pekerja yang habis masa kontrak, mengundurkan diri dan sebagainya.