"Berlanjut 72,2 dolar AS per barel September 2021, 81,8 dolar AS per barel Oktober 2021, 80,1 dolar AS per barel November 2021, 73,4 dolar AS per barel Desember 2021, dan pada Januari 2022 sebesar 85,9 dolar AS per barel," tambahnya.
Sementara Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai harga BBM mesti naik apabila tidak ingin ada dampak terhadap keuangan PT Pertamina (Persero).
"Kalau harga BBM tidak dinaikkan, Pertamina harus menjual BBM di bawah harga keekonomian, yang berpotensi menanggung beban kerugian," ujarnya.
Dia menjelaskan, beban kerugian Pertamina tersebut diganti oleh pemerintah dalam bentuk dana kompensasi.
"Kenaikan harga minyak dunia tidak begitu berdampak terhadap Pertamina, tetapi akan memperberat beban APBN," katanya.
Untuk mengurangi beban APBN, pemerintah disarankan harus memutuskan kebijakan terhadap harga BBM di antaranya yakni menaikkan harga Pertamax sesuai harga pasar.
Pemerintah juga mesti menghapus Premium yang subsidinya tinggi dan tidak menaikkan harga Pertalite dengan mengalihkan subsidi Premium.
Menurut Fahmy, kenaikan harga Pertalite akan punya dampak domino menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli rakyat.
Itu akibat jumlah konsumen BBM jenis ini terbesar dengan porsi mencapai 63 persen.
"Selain itu, pemerintah perlu membuat penyesuaian ICP (Indonesia crude price) secara proporsional yang disesuaikan dengan perkembangan harga minyak dunia," pungkasnya.