TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perang antara Rusia dan Ukraina akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu pemicunya adalah karena harga minyak yang terus melejit.
Asal tahu saja, harga minyak global yang terus meningkat membuat harga minyak mentah Indonesia alias ICP juga meroket. Rata-rata ICP bulan Februari, tercatat naik menjadi US$ 95,72 per barel dibandingkan dengan Januari yang sebesar US$ 85,89 per barel.
Baca juga: Rusia dan Ukraina Sepakat Terkait Perlunya Koridor Kemanusiaan untuk Bantu Evakuasi Warga Sipil
Level ini, selisih banyak dibanding rerata ICP dalam APBN 2022 yang dipatok sebesar US$ 63 per barel. Adapun pada Kamis (3/3), harga minyak mentah Brent telah bertengger di level US$ 117 per barel.
Ekonom Ekonom Center of Reform on Economics (Core), Yusuf Rendy mengungkapkan, dengan adanya geopolitik kedua negara tersebut, serta diiringi kenaikan harga minyak yang terus melejit, maka nilai tukar rupiah akan mengalami depresiasi.
Baca juga: Reaksi Pemimpin Dunia saat Rusia Serang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Ukraina
Dalam jangka pendek yusuf memperkirakan nilai tukar rupiah berpeluang mengalami pelemahan hingga di level Rp 14.500.
Proyeksi tersebut dipengaruhi oleh beragam faktor dan sangat volatile pergerakannya. Diantaranya, seberapa jauh kenaikan harga minyak bisa bertahan lama, baik karena sentimen konflik Ukraina dan Russia, maupun faktor yang lain.
Akan tetapi, pastinya dengan sentimen kenaikan harga energi, potensi melonjaknya inflasi baik yang terjadi secara global maupun negara maju seperti Amerika Serikat. Sehingga penyesuaian kebijakan tentu dilakukan salah satunya kebijakan menaikkan suku bunga oleh bank Sentral.
Baca juga: UPDATE Rusia dan Ukraina Sepakati soal Bantuan ke Warga Sipil hingga Zelenskyy Ingin Bertemu Putin
“Sebelum perang pun, rencana menaikkan suku bunga sudah diisyaratkan oleh The Fed, dengan kondisi saat ini, lebih cepatnya kebijakan ini diambil sangat mungkin untuk terjadi,” tutur Yusuf kepada Kontan.co.id, Jumat (4/3).
Meski nilai tukar rupiah diperkirakan akan melemah, Yusuf bilang depresiasinya tidak bertahan dalam waktu yang lama. Ia memperkirakan hanya akan sampai semester II 2022 saja. Sebab, otoritas terkait seperti Bank Indonesia, lanjutnya, tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Dia mencontohkan, jika nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga level Rp 15.000, maka Bank Indonesia akan melakukan intervensi pasar melalui beragam kebijakan, sperti intervensi di pasar valas hingga menaikkan suku bunga acuan. “Jadi di akhir tahun nilai tukar Rupiah akan berada di kisaran Rp 14.400 hingga Rp 14.500,” tutur Yusuf.
Adapun jika menakar dampaknya ke pembayaran bunga utang, berkaca pada tahun 2018 yang saat itu terjadi pelemahan nilai tukar rupiah dan di akhir tahun, membuat pertumbuhan bunga utang di kisaran 20% dibandingkan tahun 2017.
Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut menurutnya memang tidak lepas dari faktor rupiah yang mengalami depresiasi. Hanya saja, yang juga harus diakui dengan relatif kecilnya proposi utang valas Indonesia, dinamika dari nilai tukar akan berdampak pada level yang terbatas.
artikel ini sudah tayang di KONTAN dengan judul Menakar Dampak Geopolitik Rusia-Ukraina Terhadap Ekonomi Indonesia