Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu memfokuskan pembenahan rantai distribusi dan logistik komoditas daging sapi nasional.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nisrina Nafisah mengatakan, tingginya harga daging sapi perlu diatasi dengan melihat ke persoalan di hulu, salah satunya adalah rantai distribusi yang panjang.
Menurutnya, panjangnya rantai distribusi menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit yang pada akhirnya mempengaruhi harga jual.
Baca juga: Pastikan Stok Sapi Siap Potong Cukup, Mentan SYL Minta Masyarakat Tidak Khawatir
“Rantai distribusi daging sapi yang panjang menimbulkan biaya tambahan yang cukup tinggi,” jelas Nisrina, Senin (7/3/2022).
“Sehingga kenaikan di harga logistik dan transportasi akan berdampak signifikan pada kenaikan harga modal produksi daging sapi di tingkat produsen,” sambungnya.
Nisrina kembali melanjutkan, Pemerintah memilih mengimpor sapi bakalan yang harus digemukkan lagi dan dipotong di Indonesia.
Baca juga: Kunjungi Cold Storage di Jakarta Timur, Mentan SYL Pastikan Pasokan Daging Sapi Aman
Setelah itu, daging sapi yang dihasilkan dapat dijual langsung ke pedagang grosir berskala besar di pasar atau melalui tengkulak yang membantu Rumah Potong Hewan (RPH) untuk mendapatkan pembeli.
Tahapan selanjutnya adalah menjual daging sapi ke pedagang grosir berskala kecil. Merekalah yang menjual daging sapi ke pedagang eceran di pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen.
Proses panjang ini tentu menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit.
“Secara umum, tingginya harga daging sapi di Indonesia juga disebabkan oleh tingginya harga logistik, terutama biaya penyimpanan dalam cold storage. Biaya logistik selama pandemi Covid-19 mengalami kenaikan,” tambahnya.
Naiknya harga sapi bakalan juga sejalan dengan penambahan harga modal penjualan yang harus dikeluarkan produsen dan pedagang pasaran daging sapi meningkat.
Oleh karena itu, tingginya ongkos produksi dapat menyebabkan kerugian pada produsen dan penjual daging sapi.
Nisrina menambahkan, fluktuasi harga pangan tentunya merupakan hal yang biasa karena perdagangan pangan tidak lepas dari dinamika pasar berdasarkan produksi, distribusi, dan permintaan.
Menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri, jumlah permintaan biasanya akan meningkat dan hal ini perlu diikuti dengan kecukupan pasok sebagai bentuk antisipasi.
Nisrina meminta pemerintah memastikan ketersediaan daging sapi untuk konsumsi domestik cukup untuk sepanjang tahun 2022.
Produksi domestik bisa ditingkatkan dengan mengembangkan sistem produksi daging sapi agar dapat mencapai produktivitas yang optimal guna mengantisipasi lonjakan harga di pasar internasional.
Salah satunya dengan memodernisasi sektor peternakan Indonesia dan meningkatkan kapasitas peternak lokal.
Indonesia juga dapat membuka diri terhadap investasi untuk memajukan sektor peternakan.
“Kedepannya, Indonesia dapat memperkuat kerja sama perdagangan dengan negara produsen utama daging sapi selain Australia untuk mendiversifikasi sumber pangan dan memperkuat resiliensi sistem pangan Indonesia,” pungkasnya.