TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo menyinggung soal kemungkinan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) lantaran efek kenaikan harga minyak dunia yang terus melonjak. Ha itu diutarakan Jokowi saat memberikan pidato dalam peringatan HUT UNS ke 46.
Presiden Joko Widodo mengatakan, dunia diterpa tiga distrupsi dalam waktu beberapa tahun ini, berawal dari distrupsi revolusi 4.0 dengan digitalisasi sehingga banyak negara tergagap-gagap melewatinya.
Kedua hantaman pandemi covid yang menerjang seluruh dunia sehingga terjadi distrupsi ekonomi yang dahsyat. Terakhir efek perang Rusia dan Ukraina yang membuat harga minyak dunia naik.
Baca juga: Masyarakat yang Mampu Diimbau Gunakan BBM Pertamax Series demi Jaga Stabilitas Harga Pertalite
"Hal yang dulu tidak kita perkirakan muncul, kelangkaan energi. Sekarang semua negara mengalami. tambah perang harga naik dua kali lipat. Tahun 2020 harga minyak US$ 60 per barel, sekarang sudah US$ 115 per barel. dua kali lipat. Harga jual BBM semua negara sudah naik. Kita di sini masih tahan tahan. Saya tanya bu menteri, tahannya sampai berapa hari ini?," ungkap dia dalam peringatan HUT UNS ke 46, Jumat (11/3) yang disiarkan di Youtube Sekretariat Presiden.
Sementara itu, Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata mengatakan kebijakan penetapan harga BBM harus dilihat dari latar belakang di mana pemerintah berupaya melindungi daya beli masyarakat yang belum benar-benar pulih akibat pandemi COVID-19.
Baca juga: Anggota DPR: Pemulihan Ekonomi Bakal Gagal Jika Pemerintah Naikkan Harga BBM Bersubsidi
Dengan demikian, menjaga inflasi domestik tetap rendah, agar daya beli masyarakat terjaga, menjadi salah satu tujuan dari pemerintah dalam menjaga harga BBM Pertalite.
“Kami menilai, dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga daya beli, namun tidak untuk kebijakan yang bersifat jangka panjang dan setiap tahunnya harus terus disubsidi,” ujar Joshua, dalam keterangannya, kemarin.
Menurut Josua, kebijakan subsidi BBM yang dilakukan setiap tahun menjadi kontraproduktif terhadap anggaran, mengingat subsidi BBM merupakan kegiatan konsumtif dan subsidi tersebut cenderung tidak tepat sasaran kepada masyarakat miskin dan menengah ke bawah.
Selain itu, disparitas harga yang tinggi berpotensi menimbulkan distorsi pasar dan tindakan menyalahgunakan subsidi seperti menjual ke industri, penyelundupan, dan sebagainya.
Josua menambahkan, ada dua justifikasi dari pemberian subsidi BBM jenis Pertalite dalam jangka pendek saat ini. Pertama, dengan kondisi pandemi COVID-19 banyak masyarakat rentan miskin dan menengah ke bawah yang semakin memburuk kondisi ekonominya di tengah pandemi ini.
Kelompok ini cenderung minim mendapatkan program perlindungan sosial dari pemerintah. Dengan demikian, mempertahankan daya beli kelompok ini menjadi penting agar pemulihan ekonomi terjaga. “Akan tetapi, apabila perekonomian kembali ke level normalnya, pemerintah dapat kembali menyesuaikan kebijakan subsidi BBM ini,” katanya.
Justifikasi kedua, kata dia, kondisi harga minyak saat ini bisa dikatakan abnormal akibat dampak dari tensi geopolitik yang meningkat yakni perang antara Rusia-Ukraina. Ke depan, peningkatan tensi geopolitik ini diperkirakan kembali mereda dan pada akhirnya akan menurunkan harga minyak mentah dunia kembali ke rata-rata harga jangka panjangnya.
“Di tengah kondisi abnormal ini, pemerintah berupaya untuk menekan dampaknya pada perekonomian domestik dengan memberikan subsidi BBM Pertalite,” ucapnya.
Saat ini, Pertalite memang belum menjadi BBM penugasan, namun apabila ke depan akan ditetapkan sebagai BBM penugasan, selisih antara biaya produksi dan harga jual penetapan sepenuhnya akan diganti oleh pemerintah.
Akan tetapi, dengan Pertalite disubsidi, terdapat risiko peralihan konsumsi BBM dari sebelumnya BBM nonsubsidi ke BBM subsidi. Dengan demikian, terdapat potensi kenaikan jumlah konsumsi Pertalite di masa mendatang, apalagi jika disparitas harga cukup tinggi.